Petaka Banjir tanpa Antisipasi

05/12/2020 05:00
Petaka Banjir tanpa Antisipasi
Ilustrasi MI(MI/Duta)

 

 

MUSIM hujan tiba, kecemasan juga datang. Cemas apakah hujan yang berdampak pada banjir dan tanah longsor bisa diatasi. Kenyataannya, bencana banjir terus datang berulang tanpa bisa diatasi, bahkan merenggut nyawa.

Banjir yang merenggut nyawa manusia terjadi di Kota Medan, Sumatra Utara, kemarin. Hingga tadi malam, tim pencari dan penyelamat sudah menemukan lima warga yang meninggal dunia.

Menurut data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Medan, banjir merendam 2.773 unit rumah. Sementara itu, longsor memutus jalur Medan-Berastagi dan menewaskan seorang pengguna jalan. Tidak hanya di Sumatra Utara, longsor sebelumnya juga melanda sejumlah wilayah di Pulau Jawa, seperti Cilacap dan Banyumas, Jawa Tengah.

Hujan sejatinya peristiwa alam biasa. Namun, di negeri ini, fenomena itu kerap menghadirkan nestapa, terutama di penghujung hingga awal tahun. Intensitas hujan yang tinggi pada periode tersebut selalu saja menyebabkan bencana.

Bencana datang karena kurang antisipasi. Padahal, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) rutin membuat prakiraan cuaca mengenai kapan hujan terjadi, di mana terjadi, dan dengan intensitas seperti apa.

Begitu pula dengan peta wilayah rawan longsor. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat lebih dari 1.200 bencana terjadi sejak awal tahun hingga awal Mei 2020. Kejadian bencana masih didominasi bencana hidrometeorologi, seperti banjir, tanah longsor, dan puting beliung. Dengan jumlah korban meninggal sebanyak 172 orang.

Pertanyaannya, adakah yang peduli dengan prakiraan cuaca atau peta rawan longsor? Prakiraan cuaca itu dianggap remeh. Data cuaca dianggap angin lalu saja. Karena tidak peduli data cuaca itulah, banjir seperti datang tiba-tiba.

Padahal, curah hujan yang tinggi sudah diramalkan BMKG, tetapi tidak ada yang mendengarkan, tidak ada yang peduli. Tidak ada yang sensitif. Birokrasi daerah seperti mati rasa.

Sudah saatnya kita mulai menghargai prakiraan cuaca. Dihargai karena prakiraan cuaca itu bukan hasil nujum. Ia hasil kerja rasional, berdasarkan kaidah-kaidah keilmuan sehingga pantas dijadikan dasar kebijakan pemerintah pusat dan daerah.

Tahun ini, BMKG memperingatkan puncak musim hujan akan terjadi pada Januari hingga Februari 2021. Sejauh ini, belum terlihat upaya serius diambil pemerintah di berbagai tingkatan.

Di Jakarta, misalnya, proyek naturalisasi sungai yang dulu digembar-gemborkan, kini tersendat. Hal ini tentu membuat waswas warga, terutama mereka yang bermukim di daerah langganan banjir. Seharusnya daerah dan pusat bergandengan tangan, tidak perlu lagi berdebat mana sungai yang menjadi bagian tanggung jawab masing-masing.

Hal yang dibutuhkan saat ini ialah upaya preventif maksimal. Kesiapsiagaan menghadapi banjir, tanah longsor, dan berbagai potensi bencana lainnya, harus diantisipasi dari sekarang.

Jika benar-benar berpegang teguh pada kaidah keselamatan warga di atas segala-galanya, kepala daerah mestinya sudah serius berbenah menghadapi musim hujan.

Warga yang masih tinggal di daerah rawan bencana, misalnya, mesti direlokasi secepatnya. Pemerintah daerah pun harus terus-menerus menyosialisasikan dan memberikan pengertian kepada warga agar tidak terjadi hal-hal yang merugikan mereka.

Tentu saja, warga pun tidak boleh berpangku tangan. Mereka harus aware potensi ancaman bencana di lingkungan masing-masing. Peran terkecil, seperti mengurangi dan membuang sampah pada tempatnya, pantang diabaikan. Begitu juga membersihkan parit atau selokan di lingkungan masing-masing.



Berita Lainnya