Upah Fantastis Wakil Rakyat

04/12/2020 05:00
Upah Fantastis Wakil Rakyat
Ilustrasi(MI/Duta)

 

 

BARU saja sekitar sebulan yang lalu Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menyebar surat imbauan kepada para kepala daerah agar menetapkan upah minimum 2021 sama dengan tahun ini. Penaikan upah dinilai akan memukul perekonomian lebih dalam hingga memancing gelombang PHK le bih besar.

Sebagian kepala daerah mengikuti imbauan tersebut kendati dengan berat hati. Sebagian lainnya, seperti Pemprov DKI Jakarta dan Pemprov Jawa Tengah, memutuskan untuk menaikkan upah minimum.

Khusus DKI, penaikan upah dilakukan secara parsial menyesuaikan bidang industrinya. Industri-industri yang yang dinilai tetap mampu meraup keuntungan di tengah pandemi wajib menaikkan upah.

Rupanya, penyelenggaraan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pun dianggap sebagai bidang industri yang banjir keuntungan saat wabah covid-19 masih mengamuk. Dengan begitu siap menaikkan upah ‘buruh berdasi’ di parlemen dengan nilai yang fantastis. Gaji dan tunjangan tiap anggota DPRD DKI Jakarta yang semula sekitar Rp129 juta per bulan, tahun depan diusulkan naik mencapai Rp698,6 juta.

Luar biasa ternyata keuntungan yang diraih Pemprov DKI tahun ini kendati anggaran banyak tersedot untuk penanganan covid-19. Bahkan, Pemprov DKI sempat mengeluhkan kekurangan anggaran dan mengajak partisipasi masyarakat untuk membantu pengadaan bantuan sosial.

Ternyata, diam-diam untung besar teraup. Malah, pemprov seperti mam pu memproyeksikan keuntungan yang lebih besar lagi tahun depan. Ibaratnya sebuah perusahaan, kalau tidak optimistis tahun depan meraih laba berlipat, tentu tidak akan menaikkan upah hingga 400%.

Bandingkan dengan penaikan upah minimum 2021 yang ditetapkan Pemprov DKI Jakarta pada 1 November lalu, yakni sebesar 3,27% dari upah minimum tahun ini. Hanya seujung kuku penaikan upah parlemen.

Sepertinya sudah mati hati nurani para wakil rakyat di DKI Jakarta sampai tega mengusulkan upah sebesar itu untuk mereka sendiri. Para anggota dewan yang terhormat tersebut lupa mereka digaji dengan uang rakyat.

Yang tidak kalah meng heran kan, sama sekali tidak ada keberat an dari pihak Pemprov DKI Jakarta selaku pengelola APBD. Coba tanya kan kepa da warga DKI Jakarta, pas ti tidak akan ada satu pun dengan pikiran waras menyetujuinya. Kalau tidak mengecam mungkin hanya gelengge leng kepala, tidak mampu berkatakata, sambil merenungi nasib karena terkena PHK atau pemotongan upah akibat pandemi.

Dalam keadaan normal saja, penaikan gaji dan tunjangan DPRD lima kali lipat hingga menjadi lebih dari Rp600 juta per bulan pun sudah sulit dipahami dengan logika. Apalagi, di tengah penanganan situasi pandemi yang memerlukan anggaran besar untuk menyangga penghidupan warga yang babak belur. Belum ada kepastian pandemi akan teratasi tahun depan.

Barangkali ini saatnya gaji dan tunjangan wakil rakyat ikut diikat dengan aturan upah minimum provinsi. Untuk para wakil rakyat yang tambeng, lebih tepatnya bukan aturan upah minimum yang diperlukan, melainkan upah maksimum. Dengan begitu, usulan penaikan tidak lagi dilakukan sembarangan dengan tidak memedulikan keadaan warga.

Anggota DPRD dipilih bukan agar yang bersangkutan menjadi kaya raya, tetapi melayani warga menyampaikan aspirasi membangun daerah. Berhentilah mengejar kekayaan dari pundi-pundi daerah untuk kepentingan perut sendiri



Berita Lainnya