Uang Pengganti Bernilai Fantastis

28/10/2020 05:00
Uang Pengganti Bernilai Fantastis
Editorial(Dok.MI/Seno)

DALAM dua minggu ini, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada PN Jakarta Pusat memang layak dibanjiri pujian. Termasuk forum editorial ini pun mesti memberikan apresiasi setinggi-tingginya kepada para 'wakil Tuhan' yang telah mau dan secara progresif memberikan vonis amat berat terhadap pelaku-pelaku korupsi pengelolaan dana investasi PT Asuransi Jiwasraya.

Sebelumnya, Senin (12/10), majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta sudah mulai menebar vonis penjara seumur hidup kepada empat terdakwa kasus korupsi PT Asuransi Jiwasraya. Tepat dua pekan kemudian, Senin (26/10), vonis yang sama beratnya juga diberikan kepada dua terdakwa kasus korupsi Jiwasraya, yaitu Benny Tjokrosaputro dan Heru Hidayat.

Benny disebut majelis hakim memperkaya diri bekerja sama dengan tiga pejabat Jiwasraya hingga membuat negara merugi sekitar Rp16,8 triliun. Rinciannya, kerugian negara atas investasi saham dalam perkara itu sebesar Rp4,65 triliun, sedangkan kerugian negara atas investasi reksa dana senilai Rp12,15 triliun.

Yang menarik dalam vonis Benny Tjokro dan Heru Hidayat, majelis hakim juga melakukan terobosan dengan menghukum dua koruptor itu membayar uang pengganti dengan nilai yang fantastis. Totalnya sebesar Rp16,8 triliun atau setara dengan hitung-hitungan majelis terkait kerugian yang mesti ditanggung negara dari kasus rasywah tersebut. Ini menjadi uang pengganti terbesar sepanjang sejarah.

Benny diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp6,1 triliun adapun Heru sebesar Rp10,7 triliun. Dalam catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) ataupun data Litbang Media Indonesia, ini merupakan hukuman uang pengganti terbesar dalam sejarah Republik ini. Bahkan hukuman uang pengganti dalam kasus aliran dana bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) masih kalah. Uang pengganti BLBI 'hanya' sebesar Rp1,5 triliun.

Sungguh, putusan ini tak cukup hanya diberikan apresiasi, kita mesti acungkan dua jempol untuk progresivitas majelis hakim yang bahkan mungkin di luar dugaan banyak orang. Ini lagi-lagi mestinya memberikan spirit kepada seluruh penegak hukum di Indonesia bahwa seperti inilah seharusnya kita menghadapi korupsi.

Putusan itu pun harus menjadi contoh bagi hakim-hakim lain, tak perlu ragu memberi hukuman maksimal untuk penilap uang negara selama didasari pertimbangan dan pembuktian hukum yang benar. Dalam konteks kejahatan korupsi, hakim memang semestinya bertindak kejam terhadap koruptor, melalui penetapan vonis maksimal dari tuntutan hukuman yang diajukan jaksa.

Selama ini barangkali kita telah salah sangka. Kita mengira sedang memberantas korupsi, tapi sesungguhnya justru tengah meninabobokan koruptor. Tuntutan lemah, vonis ringan, tanpa pula ada upaya pemiskinan, membuat korupsi terus merajalela, menebar racun di hampir seluruh lini kehidupan bangsa ini.

Karena itu, vonis hukuman yang berat dan kewajiban membayar uang pengganti yang besar bagi para pelaku kejahatan korupsi Jiwasraya adalah angin segar. Penyejuk bagi ruang pengadilan yang kerap disesaki dengan vonis ringan bagi terdakwa kasus rasuah. Angin itu sepatutnya terus dijaga, jangan dibiarkan berhenti berembus.

Di hadapan penjahat korupsi, hakim haruslah konsisten menjadi sosok yang sadis dan tanpa kompromi. Jangan hanya kadang-kadang terlihat keras, tetapi di saat yang lain menjadi lembek. Hakim kasus korupsi, di tingkat mana pun, harus punya spirit sama, yaitu menghasilkan putusan yang menjerakan dan menjerikan. Putusannya harus mampu membuat orang berpikir berkali-kali untuk mau melakukan korupsi.

Jika konsistensi itu mampu dijaga, kita masih punya harapan besar untuk enyahnya korupsi dari Bumi Pertiwi. Sebaliknya, bila gagal mengelola konsistensi, perang melawan korupsi di negeri ini barangkali akan menjadi peperangan tanpa akhir.



Berita Lainnya