Protokol Ketat Sekolah, Bioskop

27/8/2020 05:00

SALAH satu perbincangan, perdebatan, bahkan tak jarang dijadikan materi unjuk rasa di era pandemi covid-19 ialah mengenai kapan saat yang tepat membuka sekolah tatap muka dan tempat hiburan.

Setelah pusat belanja, tempat ibadah, sampai tempat wisata satu per satu mulai dibuka, praktis tinggal dua hal itu saja yang belum mendapat lampu hijau secara penuh dari pemerintah.

Dengan motif dan alasan yang berbeda, tak bisa dimungkiri ada kebutuhan untuk segera membuka sekolah ataupun tempat hiburan. Ada kebutuhan pemerintah di satu pihak, ada kebutuhan masyarakat di pihak lain.

Penerapan sekolah tanpa tatap muka atau pembelajaran jarak jauh (PJJ) barangkali masih tetap menjadi salah satu opsi terbaik di saat pandemi belum berakhir. PJJ efektif menghindarkan peserta didik saling berkerumun dan berjarak dekat. Bukankah covid-19 menuntut kita tidak berkerumun dan berjarak dekat?

Akan tetapi, harus diakui belajar jarak jauh tidak seefektif belajar secara tatap muka. Masalah utamanya tentu akses internet. Bukan melulu soal infrastruktur jaringan di Indonesia yang masih timpang, melainkan juga munculnya beban ekonomi baru akibat biaya internet yang mahal. Bagi keluarga tidak mampu, ini masalah besar, bukan perkara sepele.

Persoalan yang tidak sepele juga dihadapi sektor hiburan di masa pandemi ini. Dalam hal penyebaran virus korona, tempat hiburan memang punya tingkat kerawanan tinggi. Namun, tentu tidak semua. Bioskop mungkin salah satu yang menurut studi pakar kesehatan memiliki risiko transmisi jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan tempat-tempat hiburan lain, bahkan jika disandingkan dengan kantor atau restoran.

Terlepas dari itu, keinginan pemerintah, juga pengusaha, membuka bioskop boleh kita duga sebagai salah satu upaya mengaliri lagi salah satu keran konsumsi masyarakat. Kita tahu sektor konsumsi merupakan penopang perekonomian domestik yang kini tengah limbung.

Pada triwulan II 2020 lalu, ekonomi kita menyusut alias minus 5,32%. Ini tentu penurunan lumayan dalam yang tentu tak ingin diulangi di triwulan III 2020. Memutar roda konsumsi ialah sebuah pilihan rasional.

Artinya, sejatinya ada alasan-alasan masuk akal yang harus dapat dinarasikan dengan baik oleh pemerintah untuk meyakinkan publik bahwa membuka sekolah atau bioskop dalam waktu dekat ini bukanlah langkah yang ceroboh. Jadikanlah penjelasan-penjelasan yang rasional sebagai alasan untuk mengeluarkan kebijakan yang boleh jadi dianggap tak populis itu.

Sayangnya, yang keluar dari mulut Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 saat konferensi pers soal rencana pembukaan bioskop di DKI Jakarta, kemarin, justru alasan absurd.

Ketika dia berteori bahwa dengan menonton di bioskop masyarakat akan merasa bahagia, dan dengan begitu imunitas diri akan meningkat, pada saat itu sebetulnya ia sedang mengaburkan seluruh pertimbangan yang rasional.

Sekali lagi kita ingatkan, pembukaan bioskop ataupun sekolah mesti mempertimbangkan semua faktor secara holistik. Faktor sains, data, juga fakta. Bila ketiganya tidak mendukung, memaksakan membuka tempat-tempat itu akan lebih banyak mudarat ketimbang manfaatnya. Lebih dekat ke blunder.

Sebaliknya, bila pertimbangan-pertimbangan rasional itu mengarahkan pada pembukaaan, tak perlu ragu pemerintah membukanya walaupun dengan tetap menerapkan strategi zonasi dan penahapan yang tepat.

Yang paling penting, ketika sekolah dan bioskop dibuka, protokol kesehatan ketat harus dipatuhi. Penegakan protokol kedisiplinan harus kuat, tidak ada tawar-menawar. Ketika ada yang melanggar pun atau terjadi kasus yang bisa dibuktikan penyebabnya ialah sekolah dan bioskop, jangan ragu untuk menutup kembali.



Berita Lainnya