Elite Menyimpang Teladan Menghilang

18/8/2020 05:00

SETIAP kali kita memperingati hari ulang tahun kemerdekaan RI, saat itu pula kita kembali mengingat jasa para pahlawan. 

Begitu banyaknya pahlawan nasional yang mampu memberikan keteladanan di masa-masa perjuangan kemerdekaan. Mereka mengobarkan semangat rakyat untuk melawan penjajah di tengah segala keterbatasan.

Di masa sekarang, tugas kita semua berjuang mengisi kemerdekaan agar terwujud cita-cita rakyat sejahtera, berkehidupan berbangsa yang cerdas, dan menjunjung ketertiban dunia. 

Perjuangan kekinian tersebut juga memerlukan anutan su paya tidak melenceng dari amanat konstitusi. Para pejabat publik, tokoh par tai politik, hingga tokoh masyarakat dan agama menjadi tempat rakyat mengarahkan pandangan. 

Dari mereka, rakyat berharap mendapatkan teladan. Berat memang tanggung jawab elite. Mereka dituntut menjadi contoh yang baik dalam menegakkan norma-norma hukum dan etika bagi masyarakat luas. Lebih-lebih saat ini, ketika nasib bangsa sangat bergantung pada disiplin mematuhi protokol kesehatan melawan wabah covid-19.

Namun, tidak semua elite mengerti tanggung jawab mereka itu. Beberapa kali terdengar berita pejabat atau tokoh berbalik marah ketika ditegur karena tidak memakai masker.

Pun, saat tepergok mengendarai mobil dengan jumlah penumpang melebihi kapasitas yang diizinkan. Belum lagi yang entah karena ketidakpaham an protokol atau sengaja meremehkan, memakai masker dengan asal-asalan. Masker yang tampak sudah memenuhi standar WHO tersebut ditarik ke dagu saat pejabat pemakainya bercakap-cakap.

Tidak mengherankan jika di pasar, perkantoran, dan tempat-tempat yang rawan penularan covid-19 lainnya, perilaku yang sama ju ga dipraktikkan masyarakat. Muncullah klaster-klaster baru penularan covid-19 sekaligus membuat penambahan kasus positif semakin
laju.

Sungguh melegakan saat dua acara penting negara belakangan, yakni sidang tahunan MPR dan upacara peringatan detik-detik proklamasi di Istana, memamerkan disiplin tinggi penegakan protokol kesehatan.

Para pejabat dan undangan yang hadir, di pimpin Presiden, dengan patuh terus-menerus mengenakan masker dan menjaga jarak aman. Contoh yang sangat baik.

Menjaga lisan dan laku merupakan keutamaan yang senantiasa harus ditunjukkan elite. Oleh karena itu, sangat disayangkan pula ketika elite bersikap arogan seperti dalam kasus Ahmad Mumtaz Rais, tokoh Partai Amanat Nasional.

Teguran awak kabin Garuda Indonesia tidak dipatuhi Mumtaz yang mengoperasikan ponsel di pesawat. Hal itu mendorong Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango yang duduk di deretan yang sama menegur Mumtaz. Alih-alih menyadari kesalahannya, eks anggota legislatif 2019-2014 itu melontarkan kata-kata bernada tinggi kepada Nawawi.

Kita apresiasi bahwa beberapa hari kemudian, Mumtaz meminta maaf atas sikapnya. Permintaan maaf tersebut mencerminkan kebesaran hati yang sesungguhnya memang dimiliki putra tokoh PAN Amien Rais itu.

Meski begitu, ada norma hukum yang diduga telah terlanggar. Undang-Undang No 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan melarang pengoperasian peralatan elektronik yang mengganggu navigasi penerbangan. Pelanggar terancam sanksi pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp200 juta.

Sebagai pidana umum, tentu harus ada proses hukum membuktikan ada atau tidaknya pelanggaran oleh Mumtaz. Bila kasus itu berhenti begitu saja, pesan yang sampai kepada masyarakat ialah tidak masalah melanggar hukum asal meminta maaf. Atau, yang lebih mengusik rasa keadilan, elite mendapat keistimewaan di hadapan hukum.



Berita Lainnya