Melibatkan KPK di Kasus Joko

11/8/2020 05:00

BAGI institusi penegak hukum, kredibilitas sebenarnya tidak hanya diukur dari ketegasan perannya di publik, tetapi juga di internal sendiri.

Tanpa itu, lembaga penegak hukum hanya akan menjadi sarang penyalahgunaan kekuasaan. Bahayanya tentu bukan saja kejahatan besar yang selalu lolos, melainkan juga bisa berujung pada hilangnya kepercayaan masyarakat.

Inilah yang sekarang dihadapkan pada dua lembaga penegak hukum kita terkait dengan kasus Joko Tjandra. Kepolisian dan kejaksaan, kini samasama diuji kredibilitasnya karena pejabat dan petugas mereka yang terlibat dalam perkara buron kasus cessie Bank Bali itu.

Meski begitu, kepolisian dan kejaksaan memiliki dua langkah berbeda atas bobrok memalukan itu. Kepala Polri Jende ral Idham Azis telah mencopot Sekretaris National Central Bureau Interpol Indonesia, Brigadir Jenderal Nugroho Slamet Wibowo, karena penghapusan red notice Joko Tjandra. Kapolri juga mencopot atasan Nugroho, Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri, Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte.

Tidak berhenti di situ, Polri pun menyatakan akan mengajak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam gelar perkara untuk menetapkan tersangka dalam kasus suap dan gratifikasi penghapusan red notice Joko. Menurut rencana, gelar perkara dilakukan pekan depan.

Pelibatan KPK, meski masih dalam rencana, menunjukkan langkah awal komitmen Polri dalam transparansi. Jika nantinya rencana itu benar dilakukan, kita bisa berharap penegakan hukum bukan hanya lips service di internal Polri.

Sayang, langkah serupa tidak ditunjukkan Kejaksaan Agung. Di saat Polri sudah menetapkan status tersangka dan menahan Nugroho di Bareskrim, kejaksaan bahkan baru sekadar membebastugaskan jaksa Pinangki Sirna Malasari. 

Padahal, Pinangki terdeteksi ikut dalam dua perjalanan menemui Joko di Malaysia. Kemudian Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan Nanang Supriatna juga terekam bertemu dengan pengacara Joko, Anita Kolopaking, yang sudah dijadikan tersangka dan ditahan Polri atas kasus surat jalan palsu Joko.

Kelambanan gerak kejaksaan ini mau tidak mau membuat tanda tanya besar akan kredibilitas lembaga tersebut. Bahkan, dalam kasus kejahatan kecil pun, kelambanan bisa berakibat fatal terhadap pengungkapan. Gerak lamban jelas memberi ruang sangat luas dalam penghilangan barang bukti dan jejak.

Di kelas kejahatan besar koruptor kelas paus seperti Joko, kelambanan sama artinya vonis bebas. Kita tahu Joko dengan segala sumber dayanya tak hanya mampu memengaruhi pejabat-pejabat suatu negara, bahkan lintas negara. 

Dalam pelariannya selama 11 tahun itu, ia pun mampu berpindah kewarganegaraan. Karena itu, transparansi sejelasnya atas pengungkapan kasus Joko, termasuk korupsi dan gratifi kasi terkait surat jalan dan keimigrasiannya, ialah hal mutlak. Jaksa Agung hanya bisa membuktikan kredibilitasnya maupun lembaganya jika berani bertindak cepat dan tegas di internalnya.

Jaksa Agung semestinya juga tidak ragu mengajak KPK dalam pengungkapan kasus yang menyangkut para pejabatnya sendiri. Tanpa ini semuanya, kita tidak hanya boleh, tetapi juga memang patut meragukan kredibilitas penegakan hukum lembaga ini.


 



Berita Lainnya