Usai Presiden Marah Menteri Giat Bekerja

08/7/2020 05:00

MENTERI ialah pembantu presiden. Sebagai pembantu, semestinya menteri menjalankan perintah presiden. Kalau kinerjanya tak memuaskan, wajar-wajar saja jika presiden marah apalagi kalau hal itu menyangkut hajat hidup 267 juta rakyat Indonesia di tengah krisis covid-19 saat ini.

Marah presiden bisa saja sebagai bentuk evaluasi atau mungkin juga pengawasan atas kinerja kabinet. Bahkan, bisa juga ketika presiden marah, menjadi peringatan bagi para menterinya. Marah yang wajar di tengah kepungan krisis multidemensi mendera ibu pertiwi.

Pertama, krisis kesehatan yang diakibatkan pandemi. Kedua, krisis ekonomi karena di tingkat domestik ataupun global, ekonomi mengalami kontraksi cukup, bahkan bisa sangat dalam. Di atmosfer krisis ini juga bermunculan krisis lain yang bersifat multidimensional, seperti krisis sosial, politik, bahkan kebudayaan.

Pubik jelas merekam bagaimana Presiden Joko Widodo naik pitam terhadap para menterinya karena kurangnya sense of crisis dalam penanganan dampak covid-19. Secara substantif, isi pesan dan gestur kegundahan Jokowi wajar dan relevan. Bahkan, jika para menteri tetap tidak becus dengan tugasnya, Presiden tidak perlu ragu untuk mencopotnya.

Urusan kepatuhan para pembantunya ini juga menjadi cermin bagaimana kewibawaan Presiden di internal kabinet benarbenar tegak. Kalau anak buah tidak juga berubah, pemimpin harus menindaknya dengan tegas alias dicopot saja.

Sebaliknya, jika menteri-menteri ini berubah dan mengakselerasi kinerja mereka, jelas tidak perlu lagi merealisasikan ancaman sanksinya. Artinya, para menteri telah patuh, mendengarkan dan mengerjakan amanah yang diberikan oleh Presiden.

Dalam konteks penanganan covid-19, Presiden telah mengevaluasi kinerja menterinya. Para menteri menyikapi itu secara positif dengan meningkatkan kinerja yang lebih maksimal lagi dan rentang kontrol telah berjalan.

Kemauan berubah dan bekerja lebih baik lagi itulah yang menurut tangan kanan Presiden, Menteri Sekretaris negara Pratikno, perombakan kabinet sudah tidak relevan lagi.

Dalam waktu yang relatif singkat, progres berbagai program percepatan penanganan covid-19 sudah bergerak pesat. Kebijakan-kebijakan mulai dijalankan, serapan anggaran pun sudah meningkat.

Artinya, ancaman reshuffle kabinet yang dilontarkan Jokowi telah menjelma sebagai pelecut para menterinya. Menjadi momentum mendongkrak kinerja pemerintahan yang lebih cepat lagi tanpa bongkar pasang kursi kabinet.

Apalagi, sebenarnya tujuan perombakan kabinet ialah untuk kinerja pemerintahan yang lebih baik, efektif, dan efisien. Konsolidasi kabinet akan lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan merombak kabinet. Variabel krisislah yang menjadi pertimbangan.

Pasalnya, reshuffle sebagai bukan semata masalah kinerja, melainkan juga politik kepentingan. Bisa dibayangkan, jika perombakan kabinet dilakukan di tengah krisis saat ini, selain menimbulkan kegaduhan politik, juga belum tentu menteri baru bisa langsung klop dengan jajaran birokrat dan sistem di kementerian yang dipimpinnya.

Alih-alih melakukan akselerasi, yang ada malah kabinet baru akan lebih sibuk untuk beradaptasi.

 

 

 

 

 

 

 

 

 



Berita Lainnya