Standardisasi Harga Tes Cepat Covid-19

06/7/2020 05:00

SUDAH 32 hari Presiden Joko Widodo memerintahkan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto untuk menetapkan standardisasi harga tes covid-19. Standardisasi itu tidak kunjung keluar sehingga membuka peluang komersialisasi dan masyarakat mengeluh.

Perintah Presiden itu diungkapkan Doni Monardo selaku Ketua Gugus Tugas Covid-19. “Bapak Presiden menugaskan Menteri Kesehatan untuk menentukan standardisasi harga,” kata Doni saat memberikan keterangan pers seusai rapat terbatas pada Kamis (4/6).

Presiden memerintahkan penetapan standar pembiayaan tes covid-19 agar tidak membebani masyarakat yang akan bepergian. Ada dua jenis alat tes, yaitu tes swab(polymerase chain reaction/ PCR) dan tes cepat alias rapid test. 

Tes swab digunakan untuk mengetahui apakah positif covid-19, sedangkan tes cepat digunakan untuk mengetahui indikasi terkena virus korona.

Hasil tes bebas covid-19 memang sangat dibutuhkan masyarakat yang ingin bepergian. Surat keterangan uji tes PCR dengan hasil negatif atau surat keterangan uji rapid test dengan hasil nonreaktif yang berlaku 14 hari menjadi salah satu syarat mutlak untuk bepergian menggunakan transportasi darat, laut, dan udara.

Sialnya, besaran biaya tes itu berbeda-beda di setiap rumah sakit sehingga menimbulkan tudingan adanya komersialisasi. Tes cepat yang relatif lebih murah ketimbang tes swab paling banyak diminati sehingga menjadi ladang bisnis yang menggiurkan sampai-sampai surat palsunya sempat dipasarkan lewat aplikasi.

Indikasi adanya komersialisasi tes cepat diungkapkan Wakil Ketua Ombudsman Republik Indonesia Lely Pelitasari Soebekty. Komersialisasi di atas penderitaan rakyat tentu saja tak sedap dipandang apalagi sengaja diciptakan. 

Penggunaan hasil tes bebas covid-19 semakin melebar, tidak lagi hanya untuk kepentingan perjalanan sesuai Surat Edaran Gugus Tugas Nomor 9 Tahun 2020. Banyak sektor lain ikut-ikutan, misalnya untuk pendaftaran masuk perguruan tinggi. Beberapa rumah sakit mensyaratkan orang berobat harus lolos rapid test. Bahkan, rumah sakit mensyaratkan orang yang menunggui kerabatnya dirawat mesti lolos rapid test.

Hukum pasar berlaku, semakin banyak permintaan, harga kian membubung tinggi. Di sinilah peran negara untuk mengendalikan harga. Komersialisasi tes cepat harus segera diakhiri jika memang pemerintah benar-benar mengurusi rakyatnya. Mengurusi rakyat bukanlah slogan, melainkan dalam tindakan nyata. Apalagi, biaya tes cepat sudah melampaui harga tiket pesawat.

Bisa dipahami adanya perbedaan biaya tes cepat sebab alat yang diimpor juga bervariasi harganya. Selain itu, pasti ada biaya tambahan karena petugas membutuhkan alat pelindung diri saat menjalankan tugas. Akan tetapi, perbedaan harga yang sangat jomplang satu sama lain, tentu sulit diterima akal waras.

Masyarakat sudah teriak sampai urat leher keluar. Teriak atas biaya tes selangit jangan sampai menguap tanpa ada kemauan kuat untuk membenahinya. Pembenahan itu
ada di atas pundak Kementerian Kesehatan dengan mengeluarkan standar pembiayaan.

Jangan sampai muncul anggapan dari masyarakat bahwa pemerintah tunduk kepada kemauan pedagang alat tes yang ingin mengeruk keuntungan di atas penderitaan rakyat. Tegas dikatakan bahwa anggapan seperti itu pasti salah kalau pemerintah sudah membuat standardisasi.

Paling penting lagi ialah tidak boleh muncul anggapan bahwa telah terjadi pembangkang- an atas perintah Presiden. Anggap saja Ke- menterian Kesehatan sedang menikam kepala melawan covid-19 sehingga belum sempat membuat standardisasi yang jika dikerjakan serius, sesunguhnya tidak butuh waktu lama- lama amat.

Semakin lama standardisasi biaya rapid test dibuat, bisa semakin liar interpretasi atas perintah Presiden yang belum dijalankan itu. Ketimbang membuka lebar ruang tafsir sendiri-sendiri, mengapa tidak sekarang juga dikeluarkan standar pembiayaan?


 



Berita Lainnya