Pelajaran dari Kekalahan KPK

19/6/2020 05:00

KABAR buruk lagi-lagi menghampiri ketika negeri ini berjibaku melawan korupsi. Kabar buruk itu datang dari Mahkamah Agung berupa penolakan terhadap kasasi yang diajukan jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap vonis bebas mantan Direktur Utama PT PLN Sofyan Basir. 

Dengan suara bulat yang diputus pada 16 Juni lalu, majelis hakim kasasi mengalahkan KPK. Para hakim agung, yakni Sofyan Sitompul, Krisna Harahap, Abdul Latief, Leopold Luhut Hutagalung, dan Suhadi, kompak berpendapat bahwa putusan Pengadilan Tipikor Jakarta membebaskan Sofyan dalam kasus suap proyek PLTU Mulut Tambang Riau-1 tidak salah.

Artinya, Sofyan dinyatakan memang tidak bersalah. Artinya, dakwaan jaksa KPK tak terbukti secara hukum. Artinya pula, tuntutan untuk Sofyan berupa hukuman 5 tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider 3 bulan kurungan tiada guna.

Suka tidak suka, mau tidak mau, KPK harus menerima kekalahan itu. Kita pun harus menghormati putusan kasasi yang diketuk palu oleh para wakil Tuhan nan agung. Sebagai putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, ia wajib ditaati oleh semua pihak.

Kendati begitu, tidaklah salah jika bangsa ini menyesalkan putusan kasasi yang memastikan Sofyan Basir bebas. Apa pun pertimbangannya, putusannya itu jelas-jelas akan berpengaruh terhadap upaya pemberantasan korupsi.

Kekalahan KPK boleh dibilang sebagai langkah mundur dalam perang besar melawan rasuah. Kekalahan KPK sekaligus menunjukkan masih ada persoalan serius di institusi penegak hukum sebagai ujung tombak dalam menghadapi korupsi. Persoalan itu kemungkinan ada di MA, tapi bisa juga di KPK.

Mustahil dimungkiri bahwa komitmen, integritas, dan kredibilitas jajaran peradilan dalam memerangi korupsi masih jauh dari harapan publik. Bahkan, belakangan MA mendapat sorotan tajam terkait dengan pendirian mereka dalam menangani perkara-perkara korupsi.

Banyak yang menganggap, sejak ditinggal pensiun hakim agung Artidjo Alkostar pada Mei 2018, MA tak lagi menakutkan para koruptor. MA yang tadinya garang berubah loyo. MA yang dulu tak pernah mau berkompromi kini malah kerap berbaik hati kepada para terpidana korupsi.

Pun MA yang ketika masih dihuni Artidjo begitu pelit, belakangan justru sering mengobral potongan bahkan pembebasan hukuman kepada koruptor. Tak mengherankan jika para koruptor yang tadinya perlu berpikir seribu kali untuk mengajukan kasasi atau peninjauan kembali, kini berlomba-lomba menjemput kebaikan hati MA. 

Wajar, sangat wajar, jika MA beralasan bahwa setiap putusan yang mereka ambil murni berdasarkan pertimbangan hukum, bukan yang lain. Namun, wajar, sangat wajar pula jika publik menduga ada sesuatu di balik banyaknya putusan peradilan yang memanjakan koruptor.

Putusan kasasi dalam kasus Sofyan Basir juga menjadi pertanda bahwa ada persoalan di tubuh KPK. Bisa jadi, mereka memang tidak cermat dan gagal mendapatkan bukti kuat dalam penyelidikan, penyidikan, hingga penuntutan. Boleh jadi, mereka gegabah dan memaksakan Sofyan sebagai tersangka tanpa berbasiskan bukti-bukti yang mendukung.

Kasus kasasi Sofyan ialah pertanda yang semakin nyata bahwa penegak hukum harus bekerja lebih baik lagi, lebih profesional lagi, agar kita tak terus tertatih-tatih memerangi korupsi. Kepada MA, gunakan pedang hukum sebagaimana seharusnya agar bangsa ini masih layak ber- harap bisa memberangus korupsi.

Kepada KPK, evaluasi dan perbaiki segera segala kekurangan yang ada sehingga tidak lagi menjadi pecundang di depan pengadilan. Rakyat tidak ingin koruptor yang menjadi pemenang.



Berita Lainnya