Realistis Hadapi Pilkada Serentak

10/6/2020 05:00

SALAH satu faktor keberhasilan ialah keyakinan. Namun, keyakinan bukanlah seperti mimpi siang bolong yang mendadak semuanya indah tanpa proses rasional. Penyelenggaraan pilkada di tengah pandemi covid- 19 seperti mimpi di siang bolong.

Disebut mimpi karena sampai saat ini penyebaran pandemi covid-19 belum mampu diatasi. Tidak seorang pun bisa memastikan kapan penyebaran virus yang mematikan itu bisa diatasi. Akan tetapi, pemerintah, DPR, dan penyelenggara pemilu justru sangat yakin untuk menggelar pilkada serentak di 270 daerah pada 9 Desember

Banyak pihak mengusulkan agar pilkada yang semula akan digelar pada 23 September itu ditunda hingga September 2021. Usul itu ditampik karena pemerintah sangat yakin bahwa pilkada di tengah pandemi mampu digelar.

Keyakinan itu disampaikan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian. Seusai menerima Duta Besar Korea Selatan pada Senin (8/6), Tito menggunakan keberhasilan pemilu legislatif Korsel pada April lalu sebagai cermin akan hasil serupa untuk pilkada serentak.

Keberhasilan Korsel patut dikagumi. Penerapan protokol kesehatan yang ketat di Korsel sejak tahapan awal hingga hari pemungutan suara memang acuan yang sangat baik. Keberhasilan itu belum tentu bisa ditiru. Apalagi, tahapan pilkada dimulai lagi pada pertengahan bulan ini setelah sebelumnya ditunda.

Jangankan soal teknologi verifikasi-E sampai e-voting, soal tambahan anggaran untuk protokol kesehatan pilkada pun belum jelas. Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) masih menunggu jawaban atas pengajuan tambahan anggaran mereka, Rp2,8 triliun-Rp5,9 triliun.

Berbagai kelemahan krusial lainnya untuk pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 dijabarkan oleh peneliti politik LIPI, Moch Nurhasim. Kelemahan itu bahkan sudah pada dasar kebijakannya, yakni Perppu 2/2020 tentang Pemilihan Kepala Daerah.

Perppu yang kini tengah digugat ke Mahkamah Konstitusi itu memang memiliki pasal yang mengatur bahwa Pilkada 2020 dapat ditunda apabila situasi tidak memungkinkan. Namun, pasal itu tetap menimbulkan ketidakpastian karena tidak mengatur persoalan anggaran dan persoalan memungkinkannya perppu ini dapat menjadi dasar hukum bagi KPU untuk melaku kan diskresi dalam menilai situasi pandemi covid-19 suatu wilayah yang dianggap mengganggu penyelenggaraan pilkada.

Berdasarkan Perppu 2/2020, KPU harus membuat langkah verifi kasi syarat dukungan calon kepala daerah yang lebih rasional. Sementara bisa saja di bulan-bulan mendatang PSBB yang telah dilonggarkan justru diperketat lagi karena lonjakan kasus, seperti yang terjadi kemarin. Padahal, verifikasi syarat dukungan harus dilakukan secara random dan untuk mengecek apakah syarat dukungan yang diberikan oleh calon tersebut sahih atau tidak, diperlukan petugas yang harus turun ke lokasi untuk melakukan pengecekan.

Di situasi normal saja, dari sejumlah kasus pada pilkada serentak sebelumnya, verifi kasi syarat dukungan pasangan perseorangan banyak menimbulkan sengketa. Masalah krusial lainnya ialah pendaftaran dan pemutakhiran data pemilih. Persoalan ini menjadi salah satu isu lama dalam sejarah pemilu di Indonesia karena basis data pemilih selalu berbeda dan tidak sama sehingga sering menimbulkan perselisihan antara penyelenggara dengan peserta pemilu (termasuk pilkada).

Mengandalkan daftar pemilih khusus (DPK) dan daftar pemilih tambahan (DPTb) yang terus-menerus terjadi dan tidak ada perbaikan oleh penyelenggara, oleh peneliti LIPI, dapat disebut sebagai bagian dari malapraktik penyelenggaraan pemilu.

Dengan semua kelemahan itu paksaan terhadap Pilkada Serentak 2020 justru dapat membuat pilkada itu paling buruk dalam sejarah. Karena itu, sudah saatnya pemerintah realistis dalam menilai kesiapan pelaksanaan Pilkada Serentak 2020.

 

 



Berita Lainnya