Partisipasi Publik di Era Normal Baru

28/5/2020 05:00

SALAH satu penentu sukses atau tidaknya implementasi sebuah kebijakan ialah seberapa besar partisipasi masyarakat. Pun demikian dengan kebijakan pemerintah untuk menerapkan tatanan normal baru di tengah pandemi covid-19 yang masih menyandera bangsa ini.

Tatanan normal baru atau new normal ialah pilihan rasional. Ia, mau tidak mau, suka tidak suka, harus dijalani karena sampai detik ini belum diketahui kapan ekspansi covid-19 akan usai. Kita jelas tidak mungkin terus menunggu dalam ketidakpastian, sementara ekonomi harus kembali menggeliat demi menopang kehidupan rakyat.

Di era new normal, kita bisa tetap menjalankan aktivitas normal, tapi mesti membarenginya dengan penerapan protokol kesehatan untuk mencegah penularan covid-19. Di sini, perubahan perilaku menjadi kunci.

Namun, tatanan normal baru juga punya risiko besar. Jika penerapannya sembarangan, ia bisa menjadi bumerang. Jika masyarakat abai dengan rambu-rambu yang ditentukan, ia dapat meninggikan kembali tingkat penularan. Jika pemerintah tak tegas, ia membuka peluang terjadinya penjajahan virus gelombang kedua.

Penerapan tatanan normal baru pantang gampangan. Sejumlah kriteria ketat yang telah ditetapkan mutlak dipatuhi tanpa ada kompromi. Tiga indikator utama untuk menilai kesiapan daerah, yaitu gambaran epidemiologi, surveilans kesehatan masyarakat, dan pelayanan kesehatannya, harus dijadikan dasar yang tak bisa ditawar-tawar.

Penilaian superketat sebelum memperbolehkan daerah memasuki era normal baru bisa menjadi langkah awal yang baik. Namun, hal itu masih jauh dari cukup. Pemberlakuan kebijakan itu perlu dukungan masyarakat secara total karena merekalah yang akan menjalaninya nanti.

Tatanan normal baru membutuhkan partisipasi, bukan sikap abai dari publik. Partisipasi pun hanya bisa tumbuh jika publik mengerti dan memahami bagaimana dan kenapa tatanan era baru harus dijalankan.

Pada konteks itulah, tepat kiranya permintaan Presiden Joko Widodo kepada seluruh unsur terkait untuk menyosialisasikan secara masif protokol tatanan normal baru kepada masyarakat. Pengenalan lebih dini tentang era normal baru sangatlah penting untuk meningkatkan kesadaran dan kepatuhan publik dalam penerapannya.

Kita menyambut baik pemerintah yang telah membuat protokol sebagai petunjuk hidup di era normal baru nanti. Pada Senin (25/5), misalnya, terbit Keputusan Menteri Kesehatan tentang Panduan Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 di Tempat Kerja Perkantoran dan Industri dalam Mendukung Keberlangsungan Usaha pada Situasi Pandemi. Salah satu yang diatur dalam surat keputusan itu ialah perusahaan wajib menerapkan physical distancing dengan jarak antarkaryawan selama bekerja di lokasi kerja, baik kantor maupun industri, minimal 1 meter.

Protokol kesehatan yang lama juga masih relevan. Di era normal baru, warga tetap wajib menjaga jarak, memakai masker, mencuci tangan, dan dilarang berkerumun dalam jumlah banyak. Itulah senjata-senjata yang terbukti ampuh memerangi korona, termasuk di DKI Jakarta yang kini tingkat reproduksi penularannya sudah di bawah 1.

Salah satu penyakit dalam mengelola negara ini ialah buruknya komunikasi dan kurangnya sosialisasi kebijakan kepada rakyat. Penyakit itu tentu tak boleh menulari kebijakan tatanan normal baru karena yang dihadapi ialah penyakit berbahaya bernama covid-19.

Tanpa sosialisasi yang masif, kita khawatir tatanan normal baru justru sarat dengan pengabaian dari masyarakat. Kalau itu terjadi, penularan covid-19 akan kembali merebak di tengah aktivitas warga yang lebih bebas.

Selain ketaatan mutlak pada kriteria dan indikator penerapan tatanan normal baru, sosialisasi adalah harga mati. Tanpa pemahaman, kesadaran, dan kedisiplinan masyarakat, ia tak boleh buru-buru diberlakukan.
 



Berita Lainnya