Menyikapi Gerak Kurva Covid-19

29/4/2020 05:00

DALAM perang melawan covid-19, setiap kabar baik memang pantas dirayakan. Apalagi, saat jumlah kasus positif baru sudah mulai turun. Ini ibarat amukan badai yang mereda.

Itulah kondisi yang ada di DKI Jakarta pada beberapa hari ini. Dari 167 pada 21 April 2020, jumlah kasus baru positif covid-19 di DKI Jakarta menjadi 65 pada 26 April 2020. Kemudian naik sedikit pada 27 April 2020, yakni 86 kasus baru. Sementara kemarin ada 81 kasus positif baru.

Dalam epidomiologi, penurunan kasus ialah hal penting. Istilah kerennya ialah flattening the curve dan telah menjadi acuan pemerintah berbagai negara dalam melawan covid-19.

Flattening the curve atau melandaikan kurva penderita berarti mengurangi pasien yang membanjiri rumah sakit dan fasilitas kesehatan. Ini berarti pula akan lebih memadai jumlah tenaga kesehatan dan peralatannya dalam merawat pasien.

Maka hasil akhirnya ialah peluang sembuh yang lebih besar. Dengan begitu pula, angka kematian bisa ditekan. Jadi, flattening the curve tidak berarti menghilangkan wabah, tetapi menekan angka kematian.

Meski begitu, dengan jumlah kasus baru yang masih dinamis, kurva DKI belum stabil turun.

Kondisi ini memang sudah membangkitkan optimisme, tetapi sama sekali belum kemenangan. Terlena akan kurva awal pelandaian itu bisa menjadi bumerang.

Terlebih para ahli belum bisa menjawab faktor-faktor pelandaian itu. Malah dengan minimnya data testing harian di wilayah penyangga DKI, penurunan kasus baru itu bisa jadi hanya peralihan.

Pemberlakuan tahap kedua pembatasan sosial berskala besar (PSBB) sejak 24 April telah menahan pergerakan orang masuk ke Jakarta. Di satu sisi, PSBB dengan penerapan yang lebih tegas ini bisa jadi telah berhasil. Namun, bisa berarti pula banyak orang tanpa gejala berada di daerah penyangga. Maka tanpa testing kontinu di daerah penyangga, bom kasus bisa beralih.

Begitu pula banyak pertanyaan DKI yang belum terjawab. Salah satunya soal jumlah tes harian ataupun hasil tes harian. Jika jumlah tes harian menurun, jumlah kasus pun menurun.

Tanpa testing terukur di DKI Jakarta ataupun daerah penyangga, penurunan kasus di Ibu Kota bisa sekadar harapan palsu. Mendasarkan kebijakan baru penanggulangan covid-19 berdasarkan data itu juga amat berbahaya.

Sebelum ada data yang lebih detail, yang bisa dilakukan hanya terus menegakkan aturan yang sudah ada, yakni PSBB hingga hal terkecil seperti kedisiplinan mencuci tangan.

Hal ini terlebih lagi harus dilakukan di daerah-daerah yang terus mengalami peningkatan kasus. Contohnya paling nyata ada di Jawa Timur yang bertambah 61 orang sehingga total kasus positif 857 orang. Jumlah kasus tertinggi berada di Surabaya. Dengan angka itu, PSBB yang mulai berlaku kemarin di Surabaya, Sidoarjo, dan Gresik, haruslah tegas ditegakkan.

Keberhasilan perang melawan covid-19 sangat tergantung pada konsistensi warga mengikuti protokol kesehatan dan menaati PSBB.

 



Berita Lainnya