Melawan Diskriminasi

20/4/2020 00:05

WABAH covid-19 menampilkan dua sisi manusia. Sisi terang dan sisi gelapnya. Bencana nasional virus korona jenis baru itu melahirkan simpati sekaligus antipati kemanusiaan.

Teramat banyak orang bersimpati terhadap sesama manusia yang menjadi korban covid-19. Simpati itu kemudian diwujudkan dalam bentuk solidaritas menggalang bantuan. Akan tetapi, masih ada pula orang antipati sehingga menolak tenaga medis, pasien yang sembuh, dan bahkan jenazah korban covid-19 ditolak untuk dimakamkan.

Sejak diumumkan pertama kali keberadaan pasien positif covid-19 pada awal Maret, kemudian grafik korban terus meningkat, mulai muncul inisiatif dan kesadaran warga untuk bersama-sama melawan virus itu.

Inisiatif itu menampakkan wajahnya dalam bentuk gotong royong menggalang dana, menghimpun bantuan, lalu menyalurkannya ke orang-orang yang terdampak pandemi. Di berbagai daerah juga muncul gerakan membantu tetangga yang terdampak pandemi. Ada juga warga yang secara sukarela meminjamkan rumah mereka untuk dijadikan tempat isolasi.

Presiden Joko Widodo memberikan apresiasi atas tumbuhnya berbagai bentuk solidaritas sosial di masyarakat dalam menghadapi pandemi covid-19. Kegotongroyongan itu diharapkan digaungkan terus karena pemerintah tak bisa sendirian mengatasi penyakit yang disebabkan virus korona baru ini.

Benar bahwa pemerintah tak bisa sendirian mengatasi covid-19. Melawan covid-19 harus dijadikan gerakan bersama, gerakan rakyat. Seluruh lapisan masyarakat jangan berpangku tangan, tapi sama-sama turun tangan untuk melawan virus yang tak kasatmata, tapi mematikan itu.

Turun tangan bisa dimulai dari dalam keluarga dan komunitas terkecil di lingkungan tempat tinggal. Cara paling mudah ialah mematuhi anjuran untuk kerja dari rumah, belajar dari rumah, dan beribadah di rumah. Rajin cuci tangan dan pakai masker.

Menyisihkan sebagian harta untuk menolong sesama tentu perbuatan terpuji. Itulah sisi lain covid-19, yaitu lahirnya kesadaran di tengah masyarakat untuk membantu sesama tanpa ada sekat. Di lingkungan rukun tetangga, misalnya, mereka yang berpunya membantu sembako untuk tertangga yang terdampak pandemi.

Tidak kalah pentingnya ialah melibatkan diri memberikan penyuluhan tentang covid-19. Penyuluhan sangat urgen dilakukan di tengah munculnya fenomena diskriminasi terhadap korban covid-19. Fenomena itu muncul karena ada kesenjangan pengetahuan di masyarakat.

Sisi gelap manusia bisa juga muncul karena terlalu banyak menerima informasi yang salah dari media sosial. Tidak ada alasan rasional untuk menolak jenazah korban covid-19 jika seluruh prosedur dilalui.

Disinformasi paling banyak beredar di masyarakat ialah seakan-akan virus korona jenis baru itu bisa berjalan sendiri menghampiri korban. Karena itu, para tenaga medis yang sudah tunggang-langgang membantu pasien covid-19 juga ditolak di lingkungan tempat tinggal mereka. Ada juga pasien sembuh covid-19, orang dalam pemantauan, dan pasien dengan pengawasan yang ditolak tetangga mereka.

Membangun kesadaran publik dan rasa solidaritas sangat penting agar tidak terjadi distorsi informasi. Tugas itu tidak hanya ada di pundak pemerintah, tapi juga menjadi tanggung jawab para tokoh agama, tokoh masyarakat, dan komunitas-komunitas.

Jika tidak ada kesenjangan pengetahuan tentang covid-10, niscaya tidak muncul lagi kecenderungan perilaku diskriminatif di tengah masyarakat. Sisi gelap manusia itu muncul dari kekhawatiran berlebihan tanpa ditopang kesadaran dan pengetahuan yang memadai.

Inilah saatnya melawan diskriminasi atas korban covid-19. Dilawan dengan menganakpinakkan gerakan solidaritas yang menginspirasi agar mampu merawat harapan hidup. Percayalah, fenomena sisi gelap manusia itu hanyalah setitik nila. Akan tetapi, setitik nila bisa merusak solidaritas sebelanga. Karena itu, kumandangkan terus sisi terang kemanusiaan.

 



Berita Lainnya