Pantang Keok Hadapi Tiongkok

06/1/2020 05:05

TIDAK berkompromi mempertahankan kedaulatan belumlah cukup dengan pernyataan. Harus ada tindakan nyata berupa penguasaan efektif atas setiap jengkal wilayah demi wibawa negara.

Wibawa negara sedang diuji. Sepanjang Desember 2019 dan Januari ini, kapal-kapal nelayan Republik Rakyat Tiongkok menyerbu perairan Natuna, Riau. Mereka malah dikawal kapal penjaga pantai Tiongkok.

Sikap bijak dalam menghadapi serbuan kapal-kapal Tiongkok di perairan Natuna ialah seluruh elemen bangsa bersatu padu untuk menghadapi, bahkan bila perlu melawan. Menghadapi dan melawan itu tetap dalam satu komando, tidak boleh mengambil tindakan sendiri-sendiri yang justru merugikan kepentingan bangsa.

Sebagai bangsa beradab, sudah tentu pilihan perlawanan melalui jalur diplomasi dikedepankan. Akan tetapi, sebagai negara berdaulat, jangan pernah ragu untuk menghadirkan semua mesin perang di wilayah perairan Natuna. Sebagai negara hukum, kita bisa menyeret kapal-kapal asing pencuri ikan itu ke meja hijau untuk kemudian ditenggelamkan.

Diplomasi, menghadirkan mesin perang, dan penegakan hukum yang dilakukan secara bersamaan dan serentak itu untuk membuktikan penguasaan efektif dan kehadiran fisik negara di perairan Natuna. Kedaulatan negara mutlak dipertahankan.

Kemenlu Indonesia sudah memanggil Duta Besar Tiongkok untuk Indonesia, Xiao Qian. Memanggil untuk menyampaikan protes keras terhadap pelanggaran Tiongkok atas zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia.

Nota diplomatik protes juga telah disampaikan. Indonesia menuduh Tiongkok telah melanggar ZEE Indonesia dan melakukan kegiatan illegal, unreported, and unregulated fishing (IUUF). Selain itu, Coast Guard Tiongkok juga dinyatakan melanggar kedaulatan di perairan Natuna.

Patut disesalkan bahwa protes keras Jakarta ditanggapi Beijing dengan klaim sepihak atas kedaulatannya di Kepulauan Spratly hingga perairan di sekitarnya, termasuk di Natuna. Klaim sepihak itu pun sudah dipatahkan Jakarta.

Klaim Tiongkok atas perairan Natuna mengacu pada nine dash-line atau sembilan garis imajiner. Menlu Retno Marsudi mengatakan klaim itu tidak berlandaskan hukum internasional yang diakui Konvensi Hukum Laut PBB atau United Nations Convention for the Law of the Sea (UNCLOS) 1982. Tiongkok salah satu negara anggota UNCLOS yang punya kewajiban menghormati implementasinya.

Harus tegas dikatakan bahwa perairan Natuna termasuk wilayah laut yang belum tergarap secara optimal selama ini. Tidaklah mengherankan bila perairan itu menjadi ajang pencurian ikan.

Penguasaan efektif di Natuna diperlihatkan Indonesia sepanjang 2015 sampai 2019. Pada masa itu Indonesia tanpa gentar menenggelamkan kapal-kapal asing pencuri ikan. Sedikitnya 500 kapal yang ditenggelamkan, termasuk di Natuna.

Dalam konteks itulah kita menyeru kepada Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo untuk menangkap dan menenggelamkan semua kapal nelayan pencuri ikan di Natuna. Jangan pernah ciutkan nyali hanya karena berhadapan dengan Tiongkok.

Indonesia harus membangun hubungan kesetaraan dengan Tiongkok sekalipun negara itu masuk tiga besar investor di Indonesia dengan realisasi investasi tertinggi. Sebagai investor terbesar, bukan berarti Tiongkok bisa suka-suka menginjak kedaulatan Indonesia.

Pilihan terakhir ialah mengerahkan mesin perang. Dua kapal perang RI (KRI), yaitu KRI Tjiptadi dan KRI Teuku Umar, telah hadir di Laut Natuna Utara sejak Sabtu (4/1). Kehadiran kedua kapal perang itu bukan untuk menembaki kapal-kapal Tiongkok, melainkan untuk melakukan komunikasi persuasif yang perlu diikuti tindakan terukur.

Tidak kalah pentingnya ialah pemerintah memberdayakan para nelayan di Natuna dengan kapal dan teknologi yang memadai. Kehadiran para nelayan dan kapal perang di perairan Natuna semakin menyempurnakan penguasaan efektif dan kehadiran fisik negara di perairan Natuna.

Elok nian pula bila Menhan Prabowo Subianto mendahului Presiden Joko Widodo melakukan kunjungan kerja ke Natuna. Kehadiran fisik Menteri Pertahanan sangat dibutuhkan sebagai simbol kesiapan mempertahankan setiap jengkal wilayah negara. Bukankah Jokowi pernah berkunjung ke Natuna pada 23 Juni 2016 dan menggelar rapat di atas kapal perang?



Berita Lainnya