Jangan lagi Kedodoran

04/1/2020 05:00

BENCANA bisa datang di mana saja. Ia tidak memilih lokasi, juga tak mengenal wilayah administrasi. Setiap daerah di Indonesia punya potensi bencana, tapi dengan karakteristik kebencanaan yang berbeda-beda. Karena itu, setiap daerah harus memiliki rencana penanggulangan bencana yang disesuaikan dengan karakteristiknya.

Salah satu kekhasan bencana di Jakarta dan sekitarnya ialah banjir. Hampir setiap tahun di musim penghujan, salah satu atau seluruh wilayah yang dikenal dengan sebutan Jabodetabek itu akan terhantam banjir. Skalanya saja yang mungkin berbeda, mulai level 'genangan' hingga level banjir besar, seperti yang terjadi pada Rabu (1/1) hingga Kamis (2/1).

Dengan berpegang pada karakteristik itu, semestinya potensi bencana banjir di Jabodetabek dapat diperkirakan. Perkiraan itu bisa dihasilkan melalui olahan statistik dari bencana-bencana sebelumnya atau menggunakan teknologi prediksi cuaca yang saat ini tentu saja semakin canggih.

Prediksi memang tak selalu presisi, tetapi sesungguhnya itu bisa dibaca sebagai peringatan awal. Dengan demikian, sebetulnya tidak ada alasan bagi pemerintah, terutama pemerintah daerah setempat, untuk tidak siap mitigasi dan antisipasi. Datangnya bencana tak bisa dicegah, tetapi mitigasi yang akurat semestinya akan sangat efektif meminimalkan dampak negatif dari bencana itu.

Banjir hebat yang meluluhlantakkan sebagian wilayah Jabodetabek ialah contoh nyata bahwa 'kemalasan' pemerintah daerah menyiapkan mitigasi dan antisipasi bencana telah membuat banjir itu bisa dengan sangat mudah menciptakan kesengsaraan warga.

Terlepas dari tingkat curah hujan di wilayah Jabodetabek yang sangat tinggi pada Selasa (31/12/2019) sore hingga Rabu (1/1) pagi, sebetulnya Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sudah jauh-jauh hari
memperingatkan bakal adanya cuaca ekstrem di wilayah tersebut. Namun, apa daya peringatan tinggal peringatan.

Baik di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, maupun Bekasi nyaris tak terlihat keseriusan pemerintah daerah merespons peringatan BMKG itu. Prediksi dianggap angin lalu. Bencana pun datang tak terbendung. Banjir besar dihadapi dengan kesiapan kecil. Hasilnya ialah dampak yang tak terelakkan dahsyatnya.

Lalu, muncullah suara-suara saling tuding. Si hilir menuding hulu, si hulu menyoal ketidaksiapan hilir. Semua daerah pasti punya andil dalam 'perkara' banjir Jabodetabek ini, tapi tidak ada yang mau disalahkan.

Karena itu, melalui forum editorial ini, kita ingin ingatkan untuk berhenti saling menyalahkan. Saat ini fokus utama semestinya diarahkan pada penanganan pascabanjir, terutama terkait dengan korban yang hingga hari ini belum sepenuhnya dapat ditangani dengan baik.

Sungguh tak elok kita terus bertengkar, sedangkan di tempat pengungsian banyak ibu dan anak kecil berteriak membutuhkan logistik makanan dan obat-obatan. Rasanya tak patut para kepala daerah saling membenarkan diri, sedangkan di wilayahnya banyak warga kebingungan karena kehilangan keluarga dan harta akibat tersapu banjir.

Setelah rampung main salah-salahan, segeralah pemda-pemda bersama pemerintah pusat melakukan koordinasi. Ingat, penanggulangan bencana secara menyeluruh bukan pekerjaan yang mudah. Karena itu, cepatlah lakukan evaluasi agar dalam jangka panjang, penanganan banjir tidak kedodoran seperti sekarang. Koreksi yang salah supaya benar. Yang sudah benar diperkuat lagi supaya tambah benar.

Tidak kalah penting selanjutnya ialah aksi nyata. Aksi ialah ujung dari proses evaluasi. Banjir jelas tak akan terselesaikan dengan gagasan tanpa aksi. Bencana tak bakal tertangani dengan cuap-cuap tanpa eksekusi.

Normalisasi, naturalisasi, atau apa pun nama program penanggulangan banjir yang disiapkan pemerintah, selamanya tidak akan mampu melawan banjir kalau hanya didebatkan dan didiskusikan. Ada gagasan, ada program, segera kerjakan.

 



Berita Lainnya