Kolaborasi dalam Investasi

09/12/2019 05:00

TEKAD pemerintah menjadikan negeri ini benar-benar ramah investasi dan mudah untuk berusaha rupanya tak segampang yang diinginkan. Sejumlah hambatan amat sulit dihilangkan karena sudah berurat berakar. Belum lagi sinergi di antara pemangku kepentingan masih jauh dari optimal.

Soal kemudahan berbisnis atau ease of doing business Indonesia di bawah kepemimpinan Joko Widodo, kita sebenarnya boleh berbangga. Kita sukses memperbaiki peringkat dengan sangat signifikan dari urutan ke-120 pada 2014 menjadi ke-106 pada 2015. Lonjakan peringkat pun terus berlanjut pada 2016 di posisi ke-91 dan setahun kemudian naik lagi ke urutan ke-72 dari total 190 negara.

Namun, tahun lalu prestasi itu terhenti. Alih-alih terus melejit, peringkat kemudahan berusaha Indonesia justru turun satu tingkat ke posisi ke-73. Padahal, target yang dipatok Jokowi tak main-main, yakni Indonesia nantinya bertengger di level 40 dunia.

Untuk membuat Indonesia punya daya pikat bagi investor, pemerintah sudah melakukan banyak upaya. Sederet kebijakan telah pula dikeluarkan, tetapi harus diakui bahwa pelaksanaan di lapangan tak semuanya sesuai dengan harapan.

Meski sudah lima tahun coba dibenahi, masalah regulasi dan perizinan tetap saja menjadi persoalan hingga kini. Di awal masa jabatan periode pertama, Presiden Jokowi telah menginstruksikan jajarannya untuk memangkas perizinan, serta melakukan deregulasi dan debirokratisasi.

Akan tetapi, instruksi itu masih harus diberikan di awal jabatan keduanya saat ini. Belum lagi masalah kepastian hukum yang juga menjadi salah satu faktor menarik-tidaknya sebuah negara sebagai ladang untuk menanam uang.

Masalah lain yang tak kalah menghambat ialah minimnya kesadaran dari para pihak untuk bersinergi. Badan usaha milik negara atau BUMN yang semestinya ikut menciptakan iklim yang baik bagi investor swasta pun belum sepenuhnya memainkan peran itu.

Jangankan turut membukakan pintu lebar-lebar bagi investor, BUMN tak jarang justru bersikap sebaliknya. Atas nama persaingan bisnis, mereka kerap menjadi penghalang swasta yang ingin berinvestasi.

Jangankan berkolaborasi, BUMN tak jarang mengedepankan kompetisi dengan swasta. Saking kerasnya kompetisi, mereka tak segan membuka konflik yang ujung-ujungnya menyisakan persoalan terkait dengan kepastian hukum. Semua menang dalam kolaborasi, tetapi harus ada yang kalah atau dikalahkan dalam kompetisi.

Kasus terkini ialah perseteruan antara PT Karya Citra Nusantara (KCN) dan perusahaan pelat merah PT Kawasan Berikat Nusantara (KBN). PT KCN ialah perusahaan yang merevitalisasi Pelabuhan Marunda, Jakarta Utara, dengan konsesi sebagai operator selama 70 tahun.

Dalam perkembangan, PT KBN yang memiliki 15% saham di PT KCN menuding PT KCN telah merampas aset negara lalu menggugat mereka membayar kerugian Rp773 miliar. PT KBN juga menuntut perubahan skema konsensi dan komposisi kepemilikan saham menjadi 50%.

Dalam sengketa, PT KBN memenangi gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Namun, situasi kemudian berbalik setelah PT KCN mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung dan kasasi itu dikabulkan.

Sengketa antara PT KBN dan PT KCN ialah salah satu pembenar bahwa negeri ini memang belum sepenuhnya ramah investasi. Ketika ada fakta bahwa kontrak awal yang sudah disepakati bisa diganggu gugat, jelas para investor akan berpikir seribu kali untuk menanamkan modal mereka.

Pada konteks itu pula kita perlu mengingatkan bahwa BUMN juga berkewajiban menyukseskan upaya pemerintah menjadikan Indonesia sebagai negara yang mudah untuk berusaha. Presiden Jokowi bahkan terus meminta BUMN tak mendominasi pengerjaan proyek-proyek pembangunan.

Bagi pemerintah, swasta layak mendapatkan prioritas dalam pembangunan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi lantaran kontribusi mereka selama ini baru 14%-16%. Investasi swasta dijamin meningkat jika kemudahan berusaha terus terpelihara dan gangguan dari sana-sini, termasuk dari BUMN, tak ada lagi. Sudah saatnya BUMN merangkul swasta.

 

 

 

 

 

 



Berita Lainnya