Tolak Politik Baper

11/11/2019 05:05

SUDAH lebih dari dua dekade Republik ini menjadikan demokrasi sebagai jalan menuju kemajuan. Sayangnya, politik yang mengedepankan prasangka dan melibatkan perasaan masih saja menyandera para elite, padahal negeri ini butuh politik persatuan di tengah banyaknya perbedaan.

Politik sarat prasangka dan penuh curiga belakangan mengemuka dan ujung-ujungnya menjadi polemik. Pun demikian dengan politik yang melibatkan perasaan atau anak muda sekarang menyebutnya baper. Sadar atau tidak, politik model itu diperlihatkan sebagian elite dalam menyikapi gerak langkah elite yang lain.

Adalah Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh yang menjadi sasaran politik prasangka. Beragam tuduhan dan aneka kecurigaan dialamatkan sejumlah pihak setelah dia menerima Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan di Kantor DPP NasDem, Jakarta Pusat, 24 Juli silam. Tuduhan dan kecurigaan itu kian menguat ketika Surya Paloh bertandang ke Kantor DPP PKS, 30 Oktober lalu.

Anies dan khususnya PKS memang beda posisi dengan NasDem, juga dengan koalisi tempat NasDem menambatkan sikap politik. Baik pada Pilpres 2014 maupun Pilpres 2019, PKS jelas-jelas berseberangan jalan dan menjadi rival koalisi pengusung Presiden Joko Widodo. Maka, ketika Surya Paloh bertemu mereka, seabrek syakwasangka sontak mengemuka.

Ada yang menganggap NasDem telah berlaku tidak etis lantaran menemui pengurus PKS. Ada yang menyebut Surya Paloh sedang mencoba unjuk kekuatan karena kecewa pembagian jatah kursi di Kabinet Indonesia Maju. Ada pula yang menuding NasDem sedang bermain dua kaki, satu di koalisi satu lagi di barisan oposisi. Bahkan, rangkulan antara Surya Paloh dan Presiden PKS Sohibul Iman pun dipersoalkan.

NasDem telah menegaskan bahwa pertemuan dengan PKS semata-mata silaturahim kebangsaan. NasDem juga menegaskan komitmennya untuk menyukseskan pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin. Tiada secuil pun hasrat dan kehendak bermain dua kaki.

Harus kita katakan, sulit bagi kita untuk memahami kenapa silaturahim antartokoh bangsa mesti dituding macam-macam dan rangkulan yang menyejukkan justru dipersoalkan. Bukankah menjalin persaudaraan sesama anak bangsa kendati berbeda haluan politik adalah langkah yang baik?

Negara yang sehat ialah negara yang membiarkan rakyatnya mengembangkan cinta satu sama lain. Sebaliknya, negara yang sakit menciptakan permusuhan, kecurigaan, dan ketidaksalingpercayaan antaranggota masyarakat.

Kita tidak ingin negara ini sakit karena prasangka dibiarkan berbiak. Karena itu, sudah seharusnya kita semua terutama para elite membuang jauh-jauh segala bentuk prasangka dan mengubur dalam-dalam segala wujud kecurigaan. Membiarkan prasangka merajalela sama saja menghalangi berkembangnya cinta sekaligus mengerdilkan benih-benih persaudaraan dan persatuan.

Sudah terlalu lama negara ini tersekat-sekat karena prasangka dan sentimental tanpa dasar. Sudah terlalu lama bangsa ini terbelah oleh dalamnya perasaan saling curiga karena diferensiasi politik. Ia merupakan virus jahat yang merapuhkan semangat persatuan dan kesatuan sehingga mesti secepatnya dienyahkan.

Sudah saatnya sifat gampang curiga dan mudah berprasangka dikesampingkan dalam berbangsa dan bernegara. Para elite wajib memeloporinya sekaligus memberikan teladan kepada rakyat bagaimana seharusnya bersikap.

Pemilu sudah selesai, pemerintahan yang baru sudah mulai bekerja. Jangan ada lagi rivalitas di antara anak bangsa karena persaingan yang sesungguhnya kini adalah menghadapi negara-negara lain.

Hanya negara yang sehat yang bisa memenangi keras dan ketatnya persaingan global. Bukan negara yang sakit karena elite-elitenya mengidap heterofobia, yakni hobi berprasangka dan gemar curiga terhadap segala sesuatu yang berbeda. Karena itu, tolak politik baper.



Berita Lainnya