Headline

Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.

Fokus

Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.

Komisi III Dorong KPK Ambil Alih Kasus Joko Tjandra

Putra Ananda
05/11/2020 16:45
Komisi III Dorong KPK Ambil Alih Kasus Joko Tjandra
Anggota Komisi III dari Fraksi Demokrat Hinca Pandjaitan(MI/ROMMY PUJIANTO)

KOMISI III DPR mendorong Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) untuk mengambil alih penanganan kasus dugaan suap gratifikasi penghapusan red notice Joko Tjandra yang melibatkan Jaksa Pinangki Sirna Malasari. 

Anggota Komisi III dari Fraksi Demokrat Hinca Pandjaitan menjelaskan hal tersebut dilakukan untuk menghindari konflik dua lembaga penegak hukum, yakni kejaksaan dan kepolisian.

"Saya mengusulkan agar proses perkara ini selanjutnya bisa diberikan kepada KPK dengan dasar hukum Perpres Nomor 102 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Supervisi Pemberantasan Tipikor," ungkap Hinca dalam keterangan resminya di Jakarta, Kamis (5/11).

Berdasarkan Perpres 102 Tahun 2020 KPK memang memiliki kewenangan untuk mengambil alih perkara dari instansi lain meskipun sudah masuk dalam tahap penuntutan. Menurut Hinca, KPK bisa menyampaikan surat pemberitahuan kepada pimpinan kejaksaan untuk melakukan supervisi.

"Lalu, dalam melakukan pengambilalihan perkara, KPK dalam hal ini memberitahukan kepada penuntut umum yang sedang menangani kasus ini," jelasnya lebih lanjut.

Setelah disetujui oleh instansi yang berwenang, Hinca menjelaskan selanjutnya terdakwa, seluruh berkas perkara, dan alat bukti lain yang dibutuhkan selama persidangan harus sudah diterima KPK paling lama 14 hari sejak tanggal perminttan supervisi diajukan oleh KPK.

"Ini adalah momen penting bagi KPK, sejak Perpres 102/2020 tersebut ditetapkan pada tanggal 20 Oktober 2020 lalu," jelas Hinca.

Menurut Hinca, kasus Jaksa Pinangki berpotensi menimbulkan ketegangan antara kejaksaan dan kepolisian sebagai lembaga penegak hukum. Terlebih setelah adanya polemik soal frasa 'petinggi kita' yang terungkap dan diucap oleh tim penuntut dalam persidangan.

"Publik kini melihat bagaimana Polri dan Kejaksaan saling bantah dan saling klaim soal frasa 'petinggi kita' tersebut. Ini jelas menabur rasa skeptis pada proses selanjutnya," tegasnya.

Namun, terlepas dari dalil masing-masing instansi, Hinca meyakini bahwa kejaksaan memiliki dasar yang kuat dalam menyampaikan tuntutan mereka di persidangan.

"Saya juga menghormati sanggahan yang disampaikan pihak Polri dan terkhusus pernyataan kuasa hukum Napoleon (terdakwa penerima suap dan gratifikasi Napoleon Bonaparte) yang menolak seluruh isi dakwaan JPU termasuk peristiwa yang berkenaan dengan petinggi kita tersebut," tuturnya. 

Baca juga: Nyanyian Napoleon Bonaparte dalam Dakwaan

Dalam sidang dakwaan, Selasa (3/11), Irjen Pol Napoleon Bonaparte disebut jaksa sempat menolak US$50 ribu. Ia meminta Joko Tjandra memberikan jumlah lebih besar dengan alasan hendak dibagi dengan pejabat yang menempatkannya sebagai Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri. 

Uang itu sebagai imbalan untuk menghapus nama Joko Tjandra dari red notice yang dicatatkan di Direktrorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM. (P-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya