Headline

Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.

Fokus

Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.

Perjuangan Kartini dan Kemunafikan DPR

Gantyo Koespradono, Mantan Wartawan dan Pemerhati Sosial Politik  
21/4/2021 20:45
Perjuangan Kartini dan Kemunafikan DPR
Gantyo Koespradono(Dok pribadi)

SUDAH sempurnakah perjuangan Raden Ajeng Kartini dalam upaya mengangkat derajat kaumnya? Jawabannya ada yang sudah sempurna sebagian. Namun, sebagian lagi belum utuh sempurna 100%.
 
Kalau saja beliau masih hidup di era serba digital di rezim media sosial seperti sekarang ini, sangat mungkin, Kartini pasti punya akun Facebook, Instagram, YouTube, Twitter, bahkan TikTok.
 
Di akunnya, mungkin dia akan mengungkapkan suka citanya, sebab sebagian besar mimpinya sudah terwujud. Perempuan Indonesia kini bebas. Merdeka, meskipun ada yang bangga tidak merdeka hanya karena memiliki kesalahan tafsir dalam berkeyakinan.
 
Paling tidak, di akun medsosnya, Ibu Kartini bakal menulis sebuah refleksi bahwa di negeri, tempat ia dilahirkan 142 tahun yang lalu, pernah punya presiden seorang perempuan. Ia bangga sebab di Indonesia, kaumnya bisa menjadi pemimpin negeri sebagai lurah, camat, wali kota, bupati, gubernur, menteri, ketua DPR, pimpinan MPR dan sebagainya.
 
Kartini juga bangga, di luar itu, kartini-kartini masa kini juga ada yang sukses memimpin perusahaan, organisasi sosial, organisasi keagamaan, dan masih banyak lagi. Ia bangga sebab perempuan, seperti yang diperjuangkannya dulu, bukan sekadar konco wingking (teman belakang) yang, maaf, cuma bertugas sebagai 'pelayan' suami dan menuruti apa yang dipetuahkan sang suami.
 
Namun, di balik kebanggaannya itu, saya menduga dia pasti juga tetap menyimpan perasaan kecewa, sebab hak dan perlindungan buat kaumnya belum 100% terealisasi.
 
RUU PKS dan RUU PPRT

Sebagian besar kaum perempuan kini sedang berjuang agar DPR-RI segera menyetujui untuk mengesahkan dua Rancangan Undang Undang (RUU), yaitu pertama RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS), dan kedua RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT).
 
Dimotori Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat dan timnya, para perempuan Partai NasDem selama dua hari (20-21 April) membahas perjuangan Kartini dikaitkan dengan kedua RUU tersebut. Pada Selasa (20/4) malam, para parempuan partai itu berkumpul secara virtual lewat Zoom.
 
Di forum itu, mereka mengungkapkan berbagai unek-unek tentang nasib perempuan, sekaligus melakukan semacam polling untuk mengetahui sikap mereka terhadap kedua RUU. Hasilnya, mayoritas peserta (lebih dari 90%) menghendaki agar kedua RUU tersebut segera disetujui oleh DPR untuk disahkan menjadi UU agar semakin memberikan rasa aman dan keadilan buat perempuan.
 
Pada Rabu (21/4) pagi hasil pertemuan dan diskusi Selasa malam dijabarkan dan dipertajam lagi dalam pertemuan internal. Untuk kemudian dirumuskan menjadi sebuah sikap para perempuan Partai NasDem tentang RUU PKS dan RUU PPRT.
 
Puncaknya adalah Rabu (21/4) siang saat Hari Kartini. Lewat Forum Diskusi Denpasar 12, Lestari menggelar diskusi bertema tanpa basa-basi “UU Penghapusan Kekerasan Seksual, UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dan Keberpihakan pada Hak Perempuan Indonesia.”
 
Sebagaimana kita ketahui, kedua RUU itu sampai sekarang masih berstatus 'mangkrak' sebab terus 'dipingpong' dan dikerangkeng sendiri oleh DPR. Ada fraksi yang terang-terangan menolak sebab kedua RUU tersebut, terutama RUU PKS, dianggap terlalu liberal dan menyentuh hal-hal sensitif berkaitan dengan agama. Gara-gara ini, fraksi-fraksi lain pun maju mundur. Takut? Entahlah.
 
Maklumlah, dalam soal yang satu itu, seperti yang juga kerap direnungkan dan dibaperkan oleh Kartini kepada teman korespondensinya, Ovink-Soer, Stella dan Rosa Abendanon, perempuan Indonesia dalam hal-hal tertentu masih terjajah. Padahal, menurut Lestari Moerdijat, apa yang  diperjuangkan Kartini adalah wujud ekspresi kebebasan, sehingga memperingati Hari Kartini sesungguhnya adalah merayakan kebebasan.
 
Seperti biasa, saya berusaha mencari benang merah berbagai pendapat yang berkembang di dalam Forum Diskusi Denpasar 12 dalam tulisan ini. Mengapa kedua RUU tersebut, terutama RUU PKS perlu segera disahkan menjadi UU?
 
Wakil Ketua Komnas Perempuan Mariana Amiruddin mengungkapkan, dalam rentang tiga tahun (2016-2019), terdapat 55.273 laporan kasus kekerasan terhadap perempuan yang masuk ke lembaganya. Dari jumlah tersebut, 40% di antaranya adalah kasus kekerasan seksual. Sayangnya, hanya 30% saja dari kasus tersebut yang diproses secara hukum. Ironisnya, KUHP ternyata tidak mengakomodasi korban perkosaan.
 
Oleh sebab itu, tegas Mariana, RUU PKS menjadi penting untuk segera disahkan menjadi UU. Untuk diketahui, UU ini– juga UU PPRT– tidak hanya berlaku atau mengatur/melindungi perempuan, tetapi juga laki-laki. Kedua RUU tidak menyebut secara spesifik kata perempuan.
 
Lalu mengapa DPR, terutama DPR periode 2014-2019 terkesan mengulur-ulur kedua RUU tersebut? Padahal, menurut Irma Suryani Chaniago, mantan anggota DPR periode 2014-2019, draf RUU PKS sebenarnya sudah final. Irma dalam Forum Diskusi Denpasar 12 blak-blakan. Parpol yang tidak mendukung RUU PKS ternyata (ini kesimpulan saya) berdasarkan keterangan Irma, bermuka dua. Munafik. Bermain sandiwara.
 
Di depan publik, kata Irma, mereka mengatakan mendukung, tetapi di dalam saat membahas RUU tersebut di Badan Legislasi DPR, mereka menolak. Ada partai yang tidak konsisten.
 
Oleh sebab itu Irma minta agar fraksi-fraksi di DPR periode sekarang yang mendukung RUU PKS melakukan pengawasan terhadap para anggota DPR yang omongannya di luar dan di dalam berbeda. Munafik. Irma juga mengungkapkan ada anggota DPR perempuan yang sengaja ingin menjegal RUU PKS.
 
Sebagaimana dijelaskan Irma, ada tiga hal yang selama ini jadi bahan perdebatan terkait dengan RUU tersebut, yaitu pertama judul RUU. Ada yang menginginkan kata 'kekerasan' dalam judul diganti dengan 'kejahatan'. Sampai sekarang belum ada titik temu. Kedua, definisi kekerasan seksual, dan ketiga pemidanaan, layakkah kekerasan seksual masuk dalam ranah pidana?
 
Masih menurut Irma, parpol atau anggota DPR yang tidak setuju terhadap RUU PKS, juga alergi terhadap RUU PPRT. Jika situasinya seperti ini, sangat mungkin, kedua RUU itu yang kini sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional untuk dibahas dalam 2021, bakal mental lagi.
 
Ketua Dewan Redaksi Media Group Usman Kansong mencoba menerka mengapa ada pihak (fraksi) yang bersikeras menolak kedua RUU tersebut, terutama RUU PKS. Dia menyebut ada empat faktor penyebab; pertama, adanya ketimpangan gender. Kedua, ada interpretasi keliru terhadap ajaran agama. Ketiga, regulasi hukum, dan keempat patriarki.
 
Mereka yang salah menafsirkan ajaran agama itu, menurut Usman, mengganggap suami adalah segala-galanya dan bisa berbuat apa saja kepada istri mentang-mentang dalam kitab suci disebut bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki.

Terkait terlantarnya kedua RUU tersebut, wartawan senior Saur Hutabarat, mengungkapkan kritik kerasnya kepada anggota DPR. Anggota DPR adalah kelas terdidik. Kedua RUU tersebut adalah inisiatif DPR.
 
Jika akhirnya kedua RUU tersebut mangkrak, bukan mangkrak di tempat lain, tapi di DPR. Bukankah ini memalukan? Itu berarti DPR menghina DPR.
 
Karena inisiatif DPR, maka segala keputusan dan pertimbangan, termasuk masih adanya interpretasi keliru soal ajaran agama, budaya dan sebagainya, ya seharusnya DPR dong yang memberikan pertimbangan dan keputusan. “Jika tidak bisa memutuskan, lalu buat apa kita memilih mereka,” kata Saur.
 
Lalu sampai kapan kemunafikan dan penghinaan terhadap diri sendiri terus dipelihara dan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga jadi korban?



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya