Headline

Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.

Fokus

Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.

Apa Langkah setelah TGPF Intan Jaya?

Frans Maniagasi Anggota Tim Asistensi UU Otsus Papua 2001
22/10/2020 03:10
Apa Langkah setelah TGPF Intan Jaya?
(dOK. pRIBADI)

SETELAH Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Kasus Penembakan Intan Jaya usai melaksanakan tugas mereka dan akan diumumkan hasilnya oleh Menko Polhukam Mahfud MD, apa makna atau pesan di balik keberadaan tim seperti itu untuk pemerintah pusat dalam rangka solusi penyelesaian masalah Papua?

Momentum TGPF Intan Jaya mestinya menjadi pintu masuk pemerintah pusat untuk menuntaskan konfl ik Papua yang telah berlangsung selama lima dekade lebih. Jika tidak, pertama, ke depan konflik Papua terus bersemi dan pembentukan TGPF tak terhindarkan bakal menghadapi aksi-aksi kekerasan. Selama konflik Papua tidak pernah diselesaikan, akan menjadi preseden bahwa pemerintah kita seolah–olah membiarkan konflik tetap eksis di tanah Papua.

Kedua, konflik Papua sudah terlalu lama berlangsung seusia ‘penyatuan’ wilayah ini dengan RI--57 tahun (1 Mei 1963-2020)--dibandingkan konflik Aceh yang berlangsung 29 tahun (1976-2005) dan konflik Timor Timur 24 tahun (1975–1999). Ketiga, konflik Papua hanya menjadi objek empuk untuk studi kasus dan eksperimen, diskusi, seminar, lokakarya, yang menjadi wacana menarik dijadikan topik kajian.

Ironisnya pula konflik Papua kerap menjadi tema kampanye para politikus oportunis. Isu Papua menjadi ‘barang komersial’ menjadi pajangan dari di etalase besar bernama Indonesia. Mirisnya konflik menjadi ‘laboratorium’ dan exercises saja tanpa langkah konkret dan permanen untuk menyelesaikan masalah ini.

UU 21/2001 tentang Otsus Papua yang jelas mencantumkan ‘akar’ masalah, juga didukung hasil kajian LIPI dalam bukunya Papua Road Map (2004-2017), telah diketahui bukan rahasia lagi. Sebab musabab lahirnya konflik Papua sudah terang benderang diketahui publik. Namun, belum ada upaya maksimal penyelesaian akar masalahnya.


Komitmen Presiden Jokowi

Pada awal kepemimpinan Presiden Joko Widodo (2014- 2015) ada terobosan ke arah upaya penyelesaian konflik. Komitmen dan kemauan politik itu merupakan angin segar dan titik terang menuju langkah- langkah penyelesaian konflik Papua. Kesungguhan itu ditunjukkan dengan pembebasan tapol/napol dan pemberian akses bagi jurnalis asing ke Papua. Pada 19 Mei 2015 Presiden memberikan grasi kepada lima tapol/napol insiden pembobolan gudang senjata Kodim 1710/Wamena 2003.

Menurut Presiden, pemberian grasi merupakan langkah permulaan untuk membangun Papua tanpa kekerasan (non-violence). Presiden menyatakan pemberian grasi itu dilihat sebagai bingkai rekonsiliasi guna mewujudkan Papua tanah damai. Selain itu, pemberian akses peliputan bagi jurnalis asing ke Papua menunjukkan kebebasan pers berlaku di seluruh Tanah Air tanpa ada diskriminasi.

Realitas di lapangan ternyata sejumlah institusi pemerintah, terutama di bidang politik dan keamanan, tidak menunjukkan iktikad baik dan kesungguhan ‘mengamankan’ komitmen dan kemauan politik

Presiden sehingga tidak semua jurnalis asing bebas melakukan peliputan di Papua. Kecurigaan dan ketakutan yang berlebihan dari aparat keamanan terhadap kehadiran mereka tetap dipertahankan dan dikontrol dengan ketat. Presiden Jokowi juga bersedia menerima beberapa pemimpin gereja dari Papua (2015-2017) yang selama ini kritis terhadap pemerintah tentang konflik Papua. Langkah tersebut ditin daklanjuti dengan menunjuk beberapa orang, di antaranya Pastor Neles Tebai (almarhum), dari JDP (Jaringan Damai Papua) yang berkolaborasi dengan LIPI melakukan kajian akademis dan kampanye dialog nasional tentang Papua, serta mengeksplorasi upaya menuju penyelesaian konfl ik. Namun, hal itu tak berjalan karena dihadapkan pada kesalahan menempatkan personel yang kurang memahami kompleksitas permasalahan. Akibatnya, rencana tersebut terhenti.


Inpres No 9/2020

Terbit Inpres No 9/2020 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Papua Barat dan Keppres No 20/2020 tentang Tim Koordinasi Terpadu Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Papua Barat. Presiden menunjuk Wapres Ma’ruf Amin sebagai ketua dewan pengarah, para menko sebagai anggota, Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa sebagai ketua pelaksana harian merangkap anggota dewan pengarah, dan diikuti 11 atau 12 kementerian teknis.

Inpres No 9/2020 dan Kepres No 20/2020 menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan masyarakat Papua, terutama bagi sebagian kalangan yang pesimistis. Itu disebabkan pengalaman masa lalu saat pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono lewat pembentukan Unit Percepat an Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B).

Penunjukan Wapres sebagai ketua dewan pengarah dan Menteri PPN/Bappenas sebagai pelaksana harian, menurut pendapat saya, merupakan momentum untuk mengembalikan kepercayaan publik Papua kepada Presiden Jokowi. Inpres No 9/2020 itu, selain mempercepat atau paling tidak mendekatkan masyarakat Papua mencapai kesejahtera an, juga mengandung konsekuensi akselarasi penyelesaian konflik.

Jika dilakukan secara sungguh-sungguh, kita dapat menyelesaikan dua permasalahan; pertama, berakhirnya konflik dan perwujudan peningkatan kesejahteraan masyarakat Papua. Artinya, pendekatan dialog yang transparan, demokratis, dan bermartabat. Kedua, pendekatan kesejahteraan dengan penegakan hukum berjalan simultan. Penyelesaian masalah lewat dialog yang terbuka, demokratis, dan bermartabat meletakkan kepercayaan rakyat pada pemerintah untuk memantapkan proses pembangunan mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial.

MI/Seno

Ilustrasi MI

 


Utusan khusus

Presiden Joko Widodo secara jelas dan tegas telah mendeklarasikan komitmen dan kemauan politiknya untuk melakukan dialog. Semestinya juga menerbitkan keputusan menunjuk ‘utusan khusus’ untuk membantu Presiden dan Wapres menyiapkan dialog dan langkah penyelesaian konflik Papua.

Kriteria utusan khusus itu merupakan orang kepercayaan Presiden, memahami kompleksitas akar masalah, objektif, netral, tidak diskriminatif bahkan tak berpendirian NKRI harga mati atau mendukung Papua merdeka. Selain itu, memiliki reputasi dan pengalaman pernah menyelesaikan konfl ik baik di Tanah Air maupun di beberapa tempat di dunia.

Dasar yang mendukung komitmen dan kemauan politik Presiden Jokowi untuk berdialog juga telah tercantum dalam Pasal 46 UU 21/2001 yang mengamanatkan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Meskipun MK telah membatalkan UU KKR secara nasional, untuk Papua, UU Otsus (lex specialis) menjadi pijakan dilaksanakannya dialog untuk rekonsiliasi.

Menurut pendapat saya, Presiden Jokowi tetap komit dan memiliki kemauan politik untuk menyelesaikan konflik Papua tanpa kekerasan. Jika berhasil, publik Papua akan mengenang Jokowi sebagai Presiden Indonesia yang sukses membuat sejarah mengakhiri konflik.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya