Headline
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
RENCANA corporate action PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) untuk menaikkan harga gas industri, terhitung sejak 1 November 2019, diurungkan lantaran pemerintah melarang penaikan harga gas tersebut. Tidak tanggung-tanggung, mulai dari Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Djoko Siswanto, Menteri ESDM Arifin Tasrief, hingga Presiden Joko Widodo secara serempak menyatakan bahwa harga gas industri tidak dinaikkan. Alasannya, agar produk industri pengguna gas sebagai bahan baku dapat bersaing di pasar ekspor.
Selain memastikan harga gas industri tidak akan mengalami kenaikan, Presiden Joko Widodo juga mempertanyakan mengapa harga gas industri mahal, bahkan lebih mahal ketimbang harga gas di luar negeri, padahal harga gas di hulu masih normal. Jokowi menilai, tingginya harga gas industri disebabkan oleh besarnya biaya sewa pipa untuk distribusi gas dari hulu ke hilir, konsumen akhir. Benarkah?
Berdasarkan Permen ESDM 58/2017, formula penetapan harga gas bumi adalah Harga Jual Gas Bumi Hilir = Harga Gas Bumi + Biaya Pengelolaan Infrastruktur + Biaya Niaga.
Data Woodmack (2018) menyebutkan bahwa harga gas industri di Malaysia berkisar US$7,5–US$8,21 per MMBtu, dengan harga gas hulu US$4,5–US$6 per MMBtu, biaya infrastruktur dan niaga sebesar US$3 per MMBtu. Harga gas industri di Thailand berkisar antara US$8,41-US$9,31, dengan harga gas di hulu US$5,4-US$6,3 per MMBtu, biaya infrastruktur dan niaga sebesar US$3,01 per MMBtu.
Sedangkan harga gas industri di Singapura lebih mahal berkisar US$12,5–US$14,5 per MMBtu, dengan harga gas hulu sebesar US$9,7–US$11,7 per MMBtu, biaya infrastruktur dan niaga sebesar US$2,8 per MMBtu. Harga gas industri di Tiongkok terbilang paling mahal sebesar US$15 per MMBtu, dengan harga gas hulu US$8 per MMBtu, biaya infrastruktur dan niaga sebesar US$7 per MMBtu.
Bandingkan dengan harga gas industri di Indonesia berkisar US$8-US$10 per MMBtu, dengan harga gas hulu US$6-US$8 per MMBtu, biaya infrastruktur dan niaga sebesar US$ 2,8-US$4 per MMBtu. Berdasarkan data itu, harga gas industri di Indonesia sesungguhnya tidak lebih mahal jika dibandingkan dengan harga gas industri di negara-negara Asia. Memang sedikit lebih mahal ketimbang Malaysia, tetapi lebih murah daripada harga gas di Thailand, Singapura, dan Tiongkok.
Sesuai dengan formula itu, penetapan harga ditentukan oleh dua varibael, yakni harga gas di hulu dan biaya pengelolaan infrastruktur dan niaga. Di kawasan ASEAN, harga gas hulu di Indonesia lebih mahal ketimbang harga hulu di Malaysia dan Thailand, tetapi masih lebih murah daripada di Singapura. Sedangkan biaya infrastruktur dan niaga di Indonesia tergolong paling mahal jika dibandingkan dengan biaya infrastruktur dan niaga di Malaysia, Thailand, dan Singapura.
Dari perbandingan harga tersebut, mahalnya harga gas industri di Indonesia disebabkan mahalnya harga gas di hulu, biaya pengelolaan infrastruktur dan biaya niaga. Dengan mahalnya harga di sektor hulu tersebut, tidak bisa dihindari harga gas di sektor hilir pada konsumen industri pasti ikut menjadi mahal.
Biaya pengelolaan infrastruktur merupakan biaya–biaya yang timbul untuk mengantarkan gas bumi dari sumber gas ke lokasi end user. Biaya pengelolaan infrastruktur meliputi biaya pengangkutan gas bumi melalui pipa transmisi dan/atau distribusi maupun infrastruktur gas bumi pendukung, seperti infrastruktur pencairan, kompresi, regasifikasi maupun penyimpanan LNG/CNG. Biaya Niaga meliputi biaya untuk kegiatan niaga, di antaranya biaya pengelolaan komoditas (SBLC), biaya pengelolaan konsumen, biaya pemasaran, biaya risiko, dan margin niaga, yang totalnya dipatok hanya sebesar 7% dari harga jual hilir.
Mahalnya biaya pengelolaan infrastruktur lebih disebabkan oleh keterbatasan ketersediaan infrasturktur pipa gas yang dibutuhkan untuk menyalurkan gas bumi dari hulu hingga ke hilir, konsumen industri. Dengan wilayah Indonesia yang sangat luas, sedangkan lokasi lahan-lahan gas menyebar di berbagai wialayah, maka Indonesia membutuhkan infrastruktur jaringan pipa sangat panjang, diperkirakan sekitar 18.560 KM.
Sampai dengan 2018, jaringan pipa gas yang sudah dibangun dan dioperasikan sekitar 9.324,8 km atau sekitar 50,24% dari total kebutuhan pipa. Kekurangan kebutuhan pipa gas tersebut tidak hanya memicu mahalnya gas, tetapi juga menyebabkan krisis gas di beberapa daerah, seperti terjadi di Medan dan Jawa Timur.
Selama ini, PGN yang paling besar kontribusinya dalam pembangunan kilang pipa gas, yang dibiayai dari sumber dana internal PGN, tanpa ada kontribusi dana dari APBN. Investasi pembangunan pipa gas tergolong besar, pengembalian investasi dalam jangka panjang, dan risiko tinggi. Sangat wajar kalau PGN membebankan pengembalian investasi itu dalam penetapan harga, dengan menaikkan harga jual.
Lebih-lebih dalam enam tahun terakhir, PGN tidak pernah menaikkan harga jual, termasuk pada saat harga minyak dan gas dunia melonjak. Penaikan harga jual gas itu juga dimaksudkan untuk menjaga keberlanjutan pembangunan infrastruktur gas dan meningkatkan layanan kepada konsumen.
Kalau sudah diputuskan harga jual gas tidak dinaikkan, pemerintah seharusnya mengalokasikan dana APBN untuk membiayai keberlanjutan pembangunan pipa gas yang masih dibutuhkan, sehingga dapat mengurangi beban yang selama ini harus ditanggung PGN. Tanpa alokasi dana APBN untuk pembangunan infrastruktur gas dan tanpa penaikan harga gas, tidak menutup kemungkinan PGN berpotensi menuju kebangkrutan.
Dalam jangka pendek saja, pengumuman pemerintah tidak menaikkan harga gas industri telah memperpuruk harga saham PGAS hingga 13,52%, turun dari Rp2.389 per saham menjadi Rp2.110 per saham.
Di satu sisi, tidak dinaikan harga jual gas industri memang dapat menjaga daya saing industri, yang menggunakan bahan baku gas, di pasar ekspor. Namun, di sisi lain juga menyebabkan keterbatasan infrastruktur pipa gas yang dibutuhkan. Hal itu dapat memicu krisis gas di beberapa daerah dan harga gas industri akan menjadi semakin mahal. (X-12)
*Penulis ialah pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada (UGM) dan mantan anggota Tim Antimafia Migas
MENTERI ESDM Arifin Tasrif tidak mengelak, tetapi juga tidak mengaminkan ketika menanggapi isu reshuffle menteri.
Bahlil Lahadalia dikabarkan akan digeser menjadi Menteri ESDM menggantikan Arifin Tasrif.
Bareskrim Polri segera menetapkan tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan dan pelaksanaan proyek Penerang Jalan Umum Tenaga Surya (PJUTS) tahun 2020.
Bareskrim Polri mengonfirmasi telah memanggil 22 orang sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi proyek Penerangan Jalan Umum Tenaga Surya
Digitalisasi sektor energi dan sumber daya mineral (ESDM) mendesak untuk segera dilakukan agar menjawab tantangan produksi yang maksimal namun tetap efisien.
146 unit pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) ikut dalam perdagangan karbon di tahun ini. Jumlah itu meningkat dibandingkan capaian tahun lalu yang berjumlah 99 unit pembangkit batu bara.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved