Headline
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.
JAKSA Amerika Serikat (AS) akan menuntut hukuman yang lebih berat dari biasanya kepada dua mantan personel polisi yang didakwa membunuh George Floyd. Alasannya, keempat polisi itu menunjukkan kekejaman terhadap pria Afrika Amerika yang sudah diborgol tersebut.
Floyd, warga Minneapolis, Minnesota, meninggal dunia pada Mei lalu setelah lehernya ditekan lutut polisi kulit putih Derek Chauvin. Kala itu, Floyd telah mengatakan bahwa dirinya tidak bisa bernafas.
Kasus pembunuhan itu digelar seiring kemarahan terhadap polisi kembali merebak setelah terjadi insiden penembakan terhadap Jacob Blake di Wisconsin, pekan ini.
Baca juga: Trump Dijadwalkan Berkunjung ke Kenosha
Dakwaan yang diajukan ke pangadilan pada Jumat (28/8) menunjukkan bahwa jaksa Minnesota beralasan ada sejumlah faktor pemberat. Faktor itu mencakup fakta bahwa Chauvin berlutut di leher Floyd selama hampir sembilan menit saat warga, termasuk anak-anak, agar dia mengakhiri aksi itu karena Floyd sekarat.
"George Floyd, sang korban, berada dalam posisi yang rentan karena tangannya telah diborgol di belakang punggungnya. Saat itu, Floyd telah mengatakan kepada petugas bahwa dia tidak bisa bernafas," ungkap surat dakwaan tersebut.
Jaksa menyebut Chauvin berlaku kejam serta menyebabkan derita yang tidak perlu kepada korban dengan menyalahgunakan posisinya sebagai polisi.
Chauvin didakwa melakukan pembunuhan tingkat dua. Adapun tiga rekannya, J Kueng, Thomas Lane, dan Tou Thao didakwa membantu pembunuhan tingkat dua.
Hukuman untuk pembunuhan tingkat kedua dan ketiga di Minnesota biasanya adalah maksimal 12,5 tahun. (AFP/OL-1)
Polisi yang membunuh George Floyd, Derek Chauvin diserang dengan pisau di penjara.
Bagi bibi George Floyd, Angela Harrelson, di antara perkembangan yang paling menonjol setelah kematian keponakannya adalah pengakuan bahwa rasisme sistemik ada.
Chauvin, yang berkulit putih, divonis bersalah oleh persidangan Minnesota, dan dijatuhi hukuman penjara pada Juni tahun lalu, selama 22 tahun dan 1,5 tahun.
Hakim Paul Magnuson memvonis J Alexander Kueng dengan vonis penjara tiga tahun sementar Tou Thao divonis penjara 3,5 tahun.
Pria kulit putih berusia 46 tahun itu mengaku bersalah pada Desember 2021 karena melanggar hak sipil Floyd, pria kulit hitam berusia 46 tahun.
Chauvin tertangkap kamera berlutut di leher Floyd, yang disangka menggunakan uang palsu, selama lebih dari sembilan menit sehingga pria itu pingsan dan meninggal dunia pada 25 Mei 2020.
Enzo Fernandez dikabarkan sudah meminta maaf secara langsung kepada rekan setim di Chelsea, terutama yang berkewarganegaraan Prancis terkait aksi rasisme yang dia lakukan.
Chelsea tidak memberikan sanksi kepada Enzo Fernandez atas nyanyian rasis yang dilakukannya bersama beberapa pemain Argentina.
Para pemain timnas Argentina memasuki lapangan dengan sambutan ejekan dan siulan yang dilakukan sebagian besar dari 35.000 penonton yang hadir di stadion.
Skuad Chelsea, saat ini, diisi tujuh pemain Prancis yaitu Axel Sisasi, Benoit Badiashile, Lesley Ugochukwu, Christopher Nkunku, Malo Gusto, Wesley Fofana, dan Malang Sarr.
Kasus rasisme yang melibatkan pemain timnas Argentina itu kian keruh usai Wakil Presiden Argentina Victoria Villaruel menyebut Prancis sebagai kolonialis dan rakyat negara Eropa itu munafik.
Striker Korea Selatan (Korsel) itu melaporkan ejekan rasisme yang diterimanya itu di laga persahabatan di Marbella, Spanyol, Senin (15/7).
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved