Headline

Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.

Fokus

Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.

Bergerak Bersama Menangani Stunting

Mediaindonesia.com
20/10/2021 06:00
Bergerak Bersama Menangani Stunting
(DOK BKKBN)

TIDAK banyak orang yang mengetahui apa itu stunting meski pada saat yang sama stunting merupakan suatu persoalan besar bagi perkembangan generasi muda suatu bangsa ke depan. Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo menjelaskan stunting merupakan kegagalan dalam mencapai potensi pertumbuhan, khususnya di 1.000 hari pertama kehidupan akibat kekurangan gizi, baik itu potensi pertumbuhan fisik, kemampuan intelektual dan kesehatannya.

“Saya kira stunting kita maknai itu, tidak tercapai­nya kondisi optimal dalam hal secara fisik, intelektual dan kesehatan. Pemahaman ini penting untuk dipahami bersama. Jadi orang stunting itu besar kemungkinan pendek, namun orang pendek belum tentu stunting,” ungkap Hasto kepada Media Indonesia, Senin (18/10).  

Dia menjelaskan dalam perkembangan penanganan stunting, pemerintah sebenarnya sudah banyak melakukan upaya menurunkan angka stunting sejak 2007 silam. Bila melihat angka stunting pada 2007 yakni 36,8%, angka itu sempat menurun pada 2010 (35,6%) tetapi kembali naik di 2013 (37,2%) dan menurun secara gradual hingga 2019 (27,67%). 

Namun, pemerintah kini berupaya mengakselerasi hal tersebut dan menunjuk BKKBN sebagai Ketua Pelaksana Percepatan Penurunan Stunting dengan mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021. Presiden pun menargetkan penurunan angka stunting menjadi 14% di 2024. Hasto menilai target tersebut masih visible kendati membutuhkan kerja keras dan keterlibatan semua pihak untuk mencapainya.

Kelompok rentan
Hasto menerangkan ada sejumlah kelompok masyarakat yang anaknya rentan terkena stunting dengan melihat kepada faktor sensitif dan faktor spesifik, khususnya untuk faktor sensitif. Misalnya pasangan itu tidak memiliki lingkungan yang sehat, tidak memiliki akses air bersih yang cukup, atau juga termasuk ke kelompok miskin hingga pengetahuan dan pendidikan rendah. 

“Kelompok ini rawan terjadi stunting, karena dengan kondisi lingkungan tidak sehat, air bersih yang kurang akan rentan terjadi pengulangan sakit seperti diare, batuk pilek, hingga TBC atau penyakit kronis lainnya yang menggangu pertumbuhan Inilah yang menjadi ancaman dari faktor sensitif itu,” tutur Kepala BKKBN.

Kelompok lain di faktor sensitif berasal dari kelompok yang sebetulnya tidak memiliki kekurangan apa pun baik lingkungan sehat, air bersih, dan berasal dari keluarga be­rada. Namun, terkadang asup­an gizi anaknya justru tidak terjaga baik itu karena ibunya diet hingga kemudian anemia sehingga membuat janin tumbuh lambat di rahim sehingga saat lahir anaknya panjangnya kurang dari 48cm dan beratnya kurang dari 2,5 kg. 

Karenanya, faktor pengetahuan dan pencegahan dari banyaknya faktor sensitif dan faktor spesifik menjadi kunci mengurangi angka stunting ke depan.

Ubah pendekatan
Salah satu perbedaan dengan adanya perpres ini ialah arah penanganan tidak hanya fokus di hilir, melainkan juga mendorong pencegahan di hulu, dalam arti dari pasangan pranikah. BKKBN sendiri menugasi lebih kepada mengoordinasi kementerian dan lembaga (K/L) untuk percepatan penurunan angka stunting dan memastikan keluarga sasaran menerima bantuan.

Pihaknya juga akan memastikan akan dilakukan pencegahan yang konkret, dengan tidak hanya mendorong penyuluhan tetapi memeriksa indikator seperti tinggi, berat badan, dan lingkar lengan calon pengantin perempuan sebelum menikah secara konkret. Begitu juga dengan bayi lahir harus terpantau secara nama dan alamatnya agar dapat dilakukan pemantauan dan diambil tindakan bila ada indikasi stunting. 

“Sebelum ada perpres ini, orang fokusnya seolah lebih kepada ketemu anak stunting, lalu diberikan penanganan. Tetapi sesungguhnya itu semua sudah telat karena setelah diketemukan anggarannya sendiri baru ada tahun depan karena anggaran pemerintah itu tidak bisa fleksibel, sedangkan waktunya hanya 1.000 hari kehidupan,” ungkap Hasto. 

Dalam kesempatan yang sama, Irma Ardiana, Kepala Pusat Penelitian, Pengembangan KB dan KS dari BKKBN menilai program pemerintah terkait stunting sebelumnya sudah banyak. Namun adanya perpres ini mendorong adanya konsolidasi dan menajamkan arah semua program yang sudah ada sebelumnya. 

“Jadi program itu sudah banyak, tetapi bagaimana memastikan konvergensi paket layanan itu bisa diterima oleh keluarga. Nah itu tantangannya lebih kepada implementasi, lebih kepada bagaimana menyatukan semua program di bawah sehingga bisa diterima oleh keluarga yang rentan terkena stunting,” ung­kap Irma.

Untuk itu, salah satu program yang diambil BKKBN untuk melaksanakan perpres tersebut ialah mendorong adanya tim pendampingan keluarga. Tim ini akan menjadi jembatan dari pemerintah yang memiliki paket manfaat dan program kepada keluarga berisiko stunting. 

Quick wins program
Hasto menyadari salah satu tantangan dalam penanganan stunting adalah faktor kesenjangan antardaerah ditambah dengan adanya pola kebijakan pemerintah yang sifatnya seragam secara nasional serta kekakuan sistem penganggaran. Untuk itu, Hasto mengaku akan mengambil suatu prioritas sebagaimana arahan Presiden.

Adapun tantangan lainnya ialah upaya mengubah pola pikir di masyarakat yang mana tidak hanya fokus kepada persoalan prewedding dan acara resepsi, tetapi justru melupakan prakonsepsi. Termasuk memberikan pemahaman kepada masyarakat akan pola konsumsi gizi yang baik, khususnya protein hewani yang berasal dari ikan.

Untuk itu, salah satu quick win yang ia lakukan adalah mengadakan rekrutmen tenaga pendamping keluarga sebanyak 600 ribu pendamping atau sekitar 200 ribu tim yang setiap timnya terdiri atas tiga orang. Pendamping ini merupakan bidan dan kader PKK yang diangkat dari wilayah daerah setempat guna memudahkan mereka mengidentifikasi siapa yang menikah, hamil, dan memiliki anak yang masuk dalam rentang golden period.

“Kalau satu desa penduduknya lebih dari 6.000 timnya akan diturunkan dua atau 6 ­orang  pendamping. Kalau lebih dari 12 ribu, timnya akan sembilan orang karena seluruh Indonesia kita buat 600 ribu. Ini yang akan kita gerakkan secara cepat,” tutur Hasto.

Program lainnya juga dengan Kementerian Agama melalui perjanjian kerja sama agar adanya kewajiban mendaftar 3 bulan sebelum menikah dan dilakukan pemeriksaan untuk hamil. Program lainnya juga menyangkut adanya pemberian kontrasepsi kepada semua pasangan yang baru melahirkan  guna mencegah adanya kehamilan sundul­an yang tidak direncanakan. “Dari 4,8 juta yang melahirkan, hanya sepertiganya yang menggunakan alat kontrasepsi. Nanti kita akan berikan gratis,” jelas Hasto.

BKKBN juga membuat program Dapur Sehat Atasi Stunting (DASHAT) serta program lainnya seperti audit kasus stunting. Selain itu, tim pendamping keluarga di bawah pengurus tim percepatan penurunan stunting yang sebelumnya diketuai Bappeda diubah menjadi wakil kepala daerah dengan PKK menjadi unsur di dalamnya dan kemudian kepala dinas KB yang menjadi sekretarisnya. “Ini struktur baru yang diharapkan  dapat menjadi terobosan baru agar dapat bergerak dengan lebih cepat,” pungkas Hasto. (Dro/S2-25)
 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Denny parsaulian
Berita Lainnya