Headline
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Dukungan dari kalangan akademisi dari fakultas kehutanan terus bertambah yang meminta DPR dan pemerintah membahas ulang Rancangan Undang-Undang Pertanahan. Kalangan akademisi meminta RUU Pertanahan tidak disahkan oleh DPR periode 2014-2019.
Seruan untuk tidak mensahkan RUU Pertanagan disampaikan Prof Ida Nurlinda, Guru Besar Ilmu Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung. Prof Ida Nurlinda menyatakan sangat setuju untuk menunda pengesahan RUU Pertanahan.
“RUU Pertanahan harus ditunda dan dikembalikan pada semangat yang terkandung dalam Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam," kata Ida Nurlinda, Sabtu (27/7) saat menanggapi rencana pengesahan RUU Pertanahan.
"Pada hakekatnya penyusunan RUU Pertanahan memperhatikan prinsip-prinsip pembaruan agraria sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 4 dan arah kebijakan pembaruan agraria sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 5 Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam,” papar Ida Nurlinda.
Lebih lanjut, Ida Nurlinda menegaskan, RUU Pertanahan merupakan RUU yang inisiatif DPR dan diinisiasi sudah cukup lama yakni tahun 2012. Pada awalnya substansi pengaturannya tidak melebar seperti saat ini. Namun setelah daftar inventarisasi masalah (DIM) pemerintah masuk, ruang lingkup pengaturan RUU Pertanahan menjadi sangat melebar.
“Substansi pengaturan yang melebar seharusnya pembahasan, penggodokkannya melibatkan banyak pihak yang terkait dengan substansi pengaturan tersebut," ucap Guru Besar dari Unpad tersebut.
"Namun kenyataannya pembahasan RUU ini cenderung eksklusif tidak melibatkan partisipasi pihak-pihak terkait secara maksimal. Tidak saja partisipasi di interen pemerintah yang kewenangannya terkait/bersinggungan dengan aspek pertanahan, akan tetapi juga diinteren DPR itu sendiri,” ujar dosen dari Fakultas Hukum Unpad.
RUU Pertanahan, lanjut Ida, dimaksudkan untuk melengkapi dan memperkuat UU Pokok Agraria (UU PA) sebagai lex specialis dari UU PA yang merupakan lex generalis-nya. Namun substansinya justru banyak hal yang bertentangan dan melamahkan UU PA. Misalnya pemberian hak guna usaha (HGU) yang didahului dengan pemberian hak pengelolaan.
Hal ini jelas tidak sejalan dengan ketentuan Pasal 28 ayat (1) UU PA yang menegaskan bahwa HGU adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara. Dalam PP No. 8 tahun 1953 tentang Penguasaan Tanah-tanah Negara, pengertian tanah negara adalah tanah yang dikuasai langsung oleh Negara.
Demikian juga halnya dalam PP No. 40 tahun 1996 tentang HGU, HGB dan Hak Pakai menegaskan bahwa tanah yang dapat diberikan HGU adalah tanah negara.
Contoh lain, misalnya memberikan hak pengelolaan pada kawasan hutan. Tentu hal ini dapat merubah tatanan sistem hukum sumber daya alam, karena secara prinsip hal ini berbeda. Pada hukum kehutanan kita berbicaranya dalam perspektif kawasan, sedangkan hak pengelolaan tentu kita berbicara dalam konteks tanah sebagai suatu hamparan/permukaan bumi sebagaimana ditegaskan dalam UUPA.
Picu Ketimpangan
Mencermasi materi RUU Pertanahan, Ida Nurlinda mengatakan, perspektif kawasan juga keliru jika diatur dalam UU Pertanahan karena tidak sejalan dengan pengertian tanah yang diatur dalam Pasal 1 ayat (4) jo Pasal 4 ayat (2) UUPA. Contoh lainnya adalah adanya pengaturan mengenai bank tanah pada RUU Pertanahan.
Sejatinya bank tanah dapat melemahkan program reforma agraria (redistribusi tanah), karena tanah yang menjadi objek reforma agraria, kurang lebih sama dengan tanah yang menjadi sumber bank tanah. Misalnya tanah terlantar.
Hal tersebut justru bertentangan dengan prinsip tanah berfungsi sosial sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 6 UUPA dan dapat memicu ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah yang sejatinya justru menjadi tujuan utama reforma agraria untuk menata ulang penguasaan dan pemilikan tanah tersebut.
Ida Nurlinda menegaskan permasalah tersebut menunjukkan ketidakkonsistenan RUU Pertanahan sebagai lex specialis dari UUPA. Hal demikian tentu dapat menimbulkan konflik, baik konflik ditataran peraturan perundang-undangan yang akan berpengaruh pada keajegan sistem hukum nasional, maupun konflik di tataran pelaksanaannya karena ketidaktegasan peraturan tersebut.
“Konflik juga berpotensi timbul dalam hal benturan kepentingan dan/atau kewenangan antar instansi pemerintah. Antara Kementerian ATR/BPN dengan kementerian lain yang kewenangannya bersinggungan. Hal ini dapat membuat pemerintahan menjadi tidak efektif,” tegas Ida Nurlinda.(OL-09)
Anggota Komisi I DPR, Dave Akbarshah Fikarno membantah pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang dikebut.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dinilai terlalu buru-buru dalam pembahasan dan pengesahan sejumlah rancangan undang-undang (RUU), yakni RUU TNI, RUU Polri, Dewan Pertimbangan Presiden.
Revisi Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) disetujui menjadi usul inisiatif DPR RI.
Penetapan kawasan konservasi yang sentralistik tersebut mengasingkan peran masyarakat lokal maupun masyarakat hukum adat.
PAN mengeklaim Rancangan Undang-Undang (RUU) Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) diusulkan untuk memperkuat tugas dan fungsi lembaga tersebut.
Presiden Joko Widodo menolak mengomentari usulan Revisi Undang-Undang Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Ia menyerahkan hal itu sepenuhnya kepada DPR sebagai inisiator.
Kantor Pertanahan Kota Tangerang selatan menghadirkan dua penerima Sertifikat Elektronik yaitu Sertifikat Aset milik Pemerintah Kota Tangerang Selatan dan WargaP Pondok Pucung
RA Summit Bali 2024 merupakan sebuah upaya untuk menyelaraskan kebijakan lintas institusi dalam tataran yang lebih detail untuk meruntuhkan ego sektoral.
Badan Bank Tanah (BBT) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) telah menandatangan MoU, Selasa (24/4)
Sebanyak 4.123 hektar (ha) lahan telah disediakan Bank Tanah dalam program Reforma Agraria (RA).
Badan Bank Tanah Penajam Paser Utara kini sedang giat mengkoordinasikan penggunaan lahan negara di wilayah tersebut
Investor saat ini menghadapi kendala terkait kepastian hak atas tanah, terutama dalam transaksi besar seperti pembelian tanah seluas 1000 hektar (ha)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved