Headline

Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.

Fokus

Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.

Kemiskinan Jadi Faktor Utama Tingginya Kasus Perdagangan Orang

Devi harahap
01/8/2024 17:55
Kemiskinan Jadi Faktor Utama Tingginya Kasus Perdagangan Orang
Personel Basarnas bersama TNI AL dan Polairud Polda Aceh mengevakuasi imigran etnis Rohingya yang terombang-ambing di perairan laut Meulaboh(ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas)

ASISTEN Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Pekerja dan TPPO, Kementerian Permberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Prijadi Santosa menjelaskan mayoritas kasus TPPO di Indonesia terjadi karena masalah ekonomi, rendahnya tingkat pendidikan dan minimnya akses informasi. Berbagai kerentanan itu membuat para perempuan dan anak terhambat dalam mendapatkan akses pada hak-haknya hingga menyebabkan kemiskinan.

“Dari terhambat itu kemudian ada yang mereka dalam waktu cepat ingin untuk melepaskan tanggung jawabnya lalu dinikahkan di usia muda, Ini yang kemudian memicu kerentanan, ada KDRT, ada juga mereka akhirnya karena ketidaksiapannya secara psikologis dan ekonominya itu yang menyebabkan mereka akhirnya terjebak dalam TPPO,” katanya pada Media Talk bertajuk 'Perempuan Merdeka dari Ancaman Tindak Pidana Perdagangan Orang' di Jakarta pada Kamis (1/8).

Selain itu, Prijadi mengungkapkan, korban TPPO paling banyak ditemukan melalui Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang bekerja sebagai Asisten Rumah Tangga (ART), program pemagangan, dan kasus baru yang melibatkan judi online atau penipuan online.

Baca juga : Mensos Komitmen Berantas Kemiskinan yang Jadi Akar Kasus TPPO

“Perempuan dan anak adalah kelompok yang paling rentan, mereka biasanya diperdagangkan menjadi tenaga kerja, dipaksa menikah atau dipaksa dalam prostitusi. Anak-anak korban seringkali diperdagangkan melalui adopsi ilegal. Kerentanan perempuan dan anak dalam isu ini tetap bertahan karena ketidaksetaraan gender,” katanya.

Prijadi menjelaskan, para pelaku TPPO sering kali mengintai korban melalui platform online, memanipulasi situasi, dan meng iming-imingi tawaran magang, kerja, beasiswa, hingga pendapatan instan melalui online scamming.

“Kasus terbaru yang juga sama-sama menjadi perhatian kita adalah kasus online scamming yang melibatkan para warga negara Indonesia untuk bekerja sebagai operator judi online di berbagai daerah di Asia Tenggara, khususnya Kamboja dan Myanmar. Selain itu, perdagangan ilegal organ manusia yang perekrutannya menggunakan media sosial pun menjadi modus yang menunjukkan adanya dimensi baru dalam TPPO,” jelasnya.

Baca juga : Butuh Penguatan Regulasi untuk Tangani Modus Baru TPPO

Nusa Tenggara Timur masuk sebagai provinsi di Indonesia yang angka kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) tertinggi kedua di bawah Provinsi Kalimantan Barat. Menurut Prijadi sasaran dari TPPO ini adalah mereka yang tinggal di pedesaan dan memiliki akses pengetahuan yang sangat terbatas.

“Provinsi yang cukup tinggi terjadi TPPO adalah di NTT melalui pengiriman pekerja imigran. Berbagai upaya pencegahan dilakukan walaupun tantangannya banyak yaitu bagaimana memetakan situasi dan menyusun strategi, melakukan advokasi kepada daerah-daerah supaya perencanaan penganggaran juga bisa difokuskan,” katanya.

Selain itu, Prijadi menyatakan UU Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) sudah seharusnya memasuki masa revisi, karena sudah kadaluarsa. Menurutnya, perkembangan teknologi digital yang semakin pasar menimbulkan berbagai modus TPPO yang semakin beragam.

Baca juga : Pencegahan Tindak Pidana Perdagangan Orang harus dari Akar Rumput

“Revisi UU ini memang diperlukan. Kami di KPPPA juga sudah beberapa kali diajak untuk pembahasan revisi ini oleh sekretariat DPR. Jadi hasil kajian juga menunjukkan bahwa Undang-Undang TPPO yang kini sudah berusia 15 tahun ini memang sudah waktunya untuk direvisi. Bagaimanapun saat ini dengan pesatnya fenomena digital, semakin banyak modus-modus baru TPPO yang ada sehingga aturannya harus kita sesuaikan lagi,” ungkapnya.

Sementara itu, Ketua Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) dan Dewan Penasehat Wonosobo dan Penyintas TPPO, Maizidah Salas menjelaskan bahwa faktor tertinggi yang menyebabkan banyak perempuan menjadi korban TPPO adalah karena minimnya informasi yang diberikan oleh pemerintah dan juga masifnya informasi yang menyesatkan dari para agensi atau calo ilegal.

“Hampir semua agensi calon tenaga kerja migran itu pasti melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap aturan yang sudah diterapkan. Perempuan pekerja migran juga tidak mendapatkan layanan atau pendampingan dalam segi pemberdayaan ekonomi. Lalu lapangan pekerjaan di Indonesia itu sangat minim sehingga ini akan menjadikan teman-teman yang sudah menjadi korban dan berpotensi menjadi korban lagi,” jelasnya.

Menurut Maizidah, jika agensi melaksanakan rekrutmen tenaga kerja secara baik dengan mengikuti aturan yang ada, lalu pemerintah juga melaksanakan amanah undang-undang dengan baik dan menegakkan aturan kepada pelaku TPPO, maka korban TPPO bisa diminimalisir.

“Perempuan-perempuan pekerja migran ini setidaknya akan terminimalisir menjadi korban TPPO. Sayangnya di pemerintahan juga data yang dikeluarkan baik P3MI yang sudah di blacklist itu tidak terupdate. Selain itu bagi P3MI yang sudah di blacklist besoknya bisa muncul nama P3MI yang lain dengan pemilik yang sama. Ini yang kemudian para pelaku agensi itu tidak mendapatkan efek jera,” jelasnya. (DEV)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Reynaldi
Berita Lainnya