Headline

Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.

Fokus

Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.

Amnesty: Humuman Mati Langgar Deklarasi Universal HAM

Mediaindonesia.com
04/12/2021 20:32
Amnesty: Humuman Mati  Langgar Deklarasi Universal HAM
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid(MI/Susanto)

AMNESTY International Indonesia menentang  hukuman mati untuk segala kasus tanpa terkecuali. Pasalnya, kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, hukuman mati merupakan pelanggaran hak untuk hidup sebagaimana dinyatakan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.

"Terlepas dari siapa yang dituduh melakukan kejahatan, sifat kejahatan, bersalah atau tidak bersalah, ataupun metode eksekusi yang digunakan," ujar Usman. 

Wacana menerapkan hukuman mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi disampaikan Jaksa Agung Burhanuddin.

Menurut Usman, berdasarkan penelitian, cara efektif untuk mengurangi tindakan kriminal adalah kepastian hukum, bukan tingkat beratnya hukuman tersebut. "Hukuman mati tidak terbukti menimbulkan efek jera," lanjutnya.

Selain itu, Usman menyebut bahwa negara-negara yang tingkat korupsinya paling rendah berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi TII seperti Selandia Baru, Denmark, dan Finlandia tidak menerapkan hukuman mati untuk koruptor.

Negara-negara yang menerapkan hukuman mati untuk koruptor, lanjutnya, seperti Tiongkok, Korea Utara, dan Iraq malah memiliki tingkat korupsi yang jauh lebih tinggi. Beberapa di antaranya bahkan lebih tinggi daripada Indonesia. "Jika ingin menimbulkan efek jera dan memberantas korupsi, seharusnya Jaksa Agung dan aparat penegak hukum lainnya fokus untuk memastikan bahwa semua pelaku korupsi bisa dibawa ke pengadilan, bukan bermain retorika soal hukuman mati," ujarnya.

"Daripada sibuk dengan wacana hukuman mati, Kejaksaan juga seharusnya fokus kepada banyak PR besar yang belum mereka selesaikan, misalnya penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, seperti Tragedi Semanggi dan Trisakti," lanjut Usman.

Sementara pengamat hukum pidana, Jamin Ginting menilai kondisi penegakan hukum di Indonesia tidak akan pernah dapat melakukan hukuman mati terhadap koruptor. Meskipun, sambung dia,  dalam Pasal 2 ayat 2 UU 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi dimungkinkan.

Ia beralasan, dalam penanganan kasus korupsi, Jaksa Agung seharusnya lebih mengutamakan pengembalian kerugian. "Penyelesaian kasus korupsi seharusnya fokus pada pengembalian aset, bukan penjatuhan hukuman," tandasnya.

Ia pun menyinggung terkait penyitaan aset yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung dalam kasus Asabri, Jiwasraya  dan kasus lainnya yang dinilai banyak salah sita aset sehingga tidak melindungi pihak ketiga yang beritikad baik. "Penyitaan aset pidana bukan bertujuan untuk dikuasai atau dirampas, kecuali itu aset milik negara," katanya.

Selain itu, Jamin juga mengkritisi masih maraknya kasus korupsi kakap yang justru masih mangkrak dan berpotensi conflict of interest dalam penanganan kasus korupsi. Padahal, lanjutnya, dengan jumlah sumber daya manusia (SDM) yang cukup di Kejaksaan Agung, banyaknya kasus mangkrak bisa ditindaklanjuti.

"Seharusnya dengan SDM yang cukup pemeriksaan kasus lain juga ditindaklanjuti. Jika ingin menepis pendapat adanya conflict of interest maka diperlukan pembuktian konkrit," pungkasnya. 

Adapun Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu mengatakan bahwa hukuman pidana mati bukan merupakan pilihan yang tepat untuk menyelesaikan kasus tindak pidana korupsi.

Bahkan, Erasmus juga menekankan bahwa tidak ada bukti ilmiah yang menunjukkan eksekusi mati efektif dalam menurunkan jumlah perkara dan mendatangkan rasa jera. Contohnya, pada 2015, jumlah kejahatan terkait narkotika mencapai 36.874 kasus. Pada tahun tersebut, Indonesia menerapkan hukuman mati kepada delapan orang terpidana mati kasus narkotika di penjara Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah.

Akan tetapi, alih-alih menurun, jumlah kasus pada 2016 justru meningkat menjadi 39.171 kasus. Pada tahun itu, pemerintah juga mengeksekusi mati empat pelaku kejahatan terkait narkotika. Jumlah kasus sempat mengalami penurunan pada 2017 menjadi 35.142 kasus, sebelum kembali meningkat pada 2018 menjadi 39.588 kasus. (Ant/OL-8)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Polycarpus
Berita Lainnya