Headline

Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.

Fokus

Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.

Belum Ada Instrumen Sanksi bagi Hakim

Rif/Dhk/X-11
04/8/2020 04:14
Belum Ada Instrumen Sanksi bagi Hakim
Gedung Mahkamah Agung(MI/ Bary Fatahilah)

MAHKAMAH Agung (MA) RI menyatakan saat ini pihaknya belum menyiapkan instrumen terkait sanksi kepada hakim yang melanggar Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

“(Saat ini) hanya perma. Sosialisasi kepada seluruh hakim saja belum,” ucap Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung, Abdullah, kemarin.

Perma tersebut sebelumnya dirilis untuk menghindari disparitas hukuman. Isinya ialah pedoman kepada hakim yang mengadili perkara tindak pidana korupsi untuk memberi vonis hukuman dalam sejumlah kategori. Salah satu di antaranya ialah pelaku korupsi yang terbukti merugikan negara dengan nilai minimal Rp100 miliar akan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup atau penjara 16 tahun hingga 20 tahun.

Sementara itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berharap pedoman itu bisa segera diterapkan hakim dan mampu mengatasi persoalan disparitas hukuman pelaku kasus korupsi. “Harapannya tentu, dengan adanya pedoman pemidanaan tersebut, tidak akan terjadi lagi adanya disparitas dalam putusan tindak pidana korupsi,” kata Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri, kemarin.

Ali Fikri mengatakan KPK saat ini juga tengah mengupaya kan pedoman dari sisi penuntutan untuk mengatasi persoalan disparitas hukuman. Pedoman itu akan diterapkan dalam penuntutan pada semua pasal pi dana korupsi, termasuk yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara dan penyuapan.

Pedoman penuntutan KPK akan memuat parameter pertimbangan memberatkan maupun meringankan. Diantaranya, motif terdakwa melakukan korupsi, peran pelaku (utama atau peserta), jumlah kerugian negara, nilai korupsi yang dinikmati, dan nilai suap yang diterima. Kemudian kedudukan dan jabatan pelaku, dampak perbuatan korupsi, pernah atau tidaknya dihukum, perilaku di persidangan, keterusterangan, dan mengakui perbuatan.

Terpisah, pakar hukum pidana, Abdul Fickar Hadjar memandang kehadiran perma akan membatasi dan mengawasi para hakim yang sering bermain-main dengan kekuasaan yudikatif yang dimiliki nya. “Apresiasi tinggi untuk MA. Meski pada penerap annya juga harus tetap dijaga prinsip independent judiciary atau kebebasan kekuasaan kehakim an yang melekat pada profesi hakim,” jelasnya dalam pesan singkat, kemarin. (Rif/Dhk/X-11)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Kardashian
Berita Lainnya