Headline

Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.

Fokus

Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.

AMAN Tolak RUU Pertanahan

Cahya Mulyana
06/9/2019 18:20
AMAN Tolak RUU Pertanahan
Logo Aliansi Masyarakat Adat Nusantara(http://www.aman.or.id)

RANCANGAN UU Pertanahan mendapat penolakan dari banyak pihak. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) termasuk kelompok yang menentang rancangan itu karena mempersulit dalam mendapatkan hak pengelolaan lahan adat.

"Banyak alasan bagi kami, AMAN menolak RUU Pertanahan itu. Persoalan paling krusial yang kami lihat dari draf regulasi itu adalah masyarakat adat akan semakin sulit dalam mendapatkan hak atas wilayah adat," terang Deputi II Sektretaris Jenderal AMAN Erasmus Cahyadi pada diskusi bertajuk Media Briefing tentang RUU Pertanahan di kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Jakarta, Jumat (6/9).

Acara ini juga dihadiri Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Maria Sri Wulan Sumardjono, Ketua Bidang Manajemen Pengetahuan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Siti Rakhma Mary Herwati dan Wakil Ketua Komnas HAM Bidang Eksternal Sandrayati Moniaga.

Erasmus menjelaskan RUU ini memperpanjang belenggu terhadap masyarakat adat untuk mendapatkan wilayah adat. Pasalnya tanah objek reforma agraria (TORA) atau wilayah adat berstatus sebagai milik negara.

Baca juga: Komnas HAM Minta Pembahasan RUU Pertanahan Ditunda

Ditambah lagi, lanjut dia, subjek penerima TORA juga luput dari penjelasan secara terperinci karena hanya berbunyi kelompok masyarakat. Istilah itu sama persis seperti tertuang dalam Peraturan Presiden nomor 86 tahun 2018 tentang Reforma Agraria dan bermakna kumpulan orang dalam sebuah kawasan serta memenuhi persyaratan untuk mendapatkan objek redistribusi tanah.

"Definisi itu mengidentifikasikan bahwa itu bukanlah yang tumbuh alamiah seperti masyarakat adat. Dengan regulasi yang ada saat ini dan telah menggunakan istilah itu masyarakat adat masih kesulitan mendapatkan wilayahnya," terangnya.

Kemudian, Erasmus menjelaskan TORA yang berstatus milik negara dari bekas lahan tambang, hak guna usaha (HGU) maupun masuk kawasan hutan masih diperdebatkan. Pasalnya tidak sedikit lahan dari tiga jenis itu sebelumnya milik masyarakat adat.

"Kemudian saat lahan itu berakhir masa perjanjian pengelolaannya tidak langsung dikembalikan kepada masyarakat adat tapi kepada negara. Jelas ini tidak adil karena setelah sekian lama dikelola pihak lain kami harus meminta kembali ke negara," keluhnya.

Landasan lain yang membuat AMAN menolak RUU ini, ucap Erasmus, hilangnya fungsi hukum adat sebagai sarana menyelesaikan sengketa dan lebih memilih musyawarah mufakat. Kemudian ketika para pihak tidak menerima maka bisa mengambil lewat jalur Pengadilan Pertanahan yang dibentuk Mahkamah Agung, paling lama lima tahun setelah rancangan itu diundangkan.

"Sejak awal AMAN hanya setuju terhadap UU Pertanahan yang isinya mencerminkan keinginan untuk menyelesaikan persoalan akut dalam pengakuan masyarakat atas wilayah adat dengan proses sederhana. Kemudian menyediakan mekanisme penyelesaian sengketa wilayah adat di masa lalu dan sekarang juga meletakkan aturan yang adil bagi masa depan. Tapi RUU ini justru jauh dari harapan sehingga kami menolak dan jika tetap diundangkan akan melayangkan gugatan," pungkasnya.(OL-5)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya