Headline

Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.

Fokus

Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.

Negara Masa Kalah di Hadapan Mafia Bisnis

Soelistijono, Editor Media Indonesia
24/3/2022 21:00

SIMSALABIM. Minyak goreng kemasan yang sempat raib di pasaran tiba-tiba memenuhi rak-rak minimarket di berbagai daerah.

Fakta itu terjadi setelah pemerintah mencabut harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng kemasan  dan memberikan subsidi bagi minyak goreng curah, pada Selasa 15 Maret 2022. Keputusan yang disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto itu diumumkan setelah diadakan rapat terbatas mengenai kebijakan distribusi dan harga minyak goreng.

Baca juga: Atur Nalar Hadapi Imajinasi Kemewahan ala Crazy Rich

Sebelumnya, melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 06 Tahun 2022, HET minyak goreng dalam kemasan dipatok Rp14 ribu per liter, sementara harga minyak goreng curah Rp11.500 per liter. Namun yang terjadi adalah kelangkaan minyak goreng di pasaran terjadi di mana-mana.

Baca juga: Harga Minyak Goreng Melonjak, SPI: Petani Sawit tidak Untung

Akibatnya masyarakat mengantre untuk mendapatkan minyak goreng merupakan fenomena harian. Hingga mengakibatkan dua warga dikabarkan meninggal dunia.

Terbitnya Permendag No 11 Tahun 2022 yang meniadakan HET dan menyesuaikan mekanisme pasar direspons produsen dan distributor dengan cepat. Dalam hitungan satu hari, pasar pun sudah dibanjiri minyak goreng.  

Baca juga: Polri dalami Dugaan Kartel Minyak Goreng

Namun, ketersediaan minyak goreng kemasan di toko-toko dan ritel modern itu  ternyata tidak serta merta menyelesaikan krisis minyak goreng di masyarakat.  Keluhan masyarakat berganti karena harganya melambung hingga 2 kali lipat di kisaran Rp25 ribu dari sebelumnya Rp14 ribu per liter. Sebaliknya, yang terjadi pada minyak goreng curah yang biasa tersedia di pasar-pasar tradisional atau toko kecil masih langka. Kebijakan harga subsidi sebesar Rp11.500 tidak bisa berjalan.

Masyarakat -terutama emak-emak- masih harus membayar lebih mahal karena kelangkaan tadi. Harga minyak goreng curah dari tangan pedagang di pasaran tembus hingga Rp18ribu per kilogramnya.

Itu artinya  kebijakan Permendag Nomor 11 Tahun 2022 yang baru dikeluarkan tersebut juga tidak efektif. Masyarakat tetap saja merasa sangat keberatan terhadap harga minyak goreng di pasaran.

Menjadi pertanyaan kenapa kebijakan pencabutan HET untuk minyak goreng kemasan menjadi opsi Kemendag. Jawabannya, ternyata bisa ditemui saat Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi, dalam rapat kerja dengan Komisi VI DPR RI  meminta maaf ke Dewan karena tidak mampu mengontrol kelangkaan minyak goreng.

Di situ Mendag Lutfi mengatakan krisis minyak goreng dalam beberapa bulan terakhir ini terjadi karena ada kerakusan orang jahat atau mafia minyak goreng yang menyelundupkan jatah Domenstic Market Obligation (DMO) yang ditetapkan oleh pemerintah sebesar 20% itu, sebagian diselundupkan ke luar negeri atau bahkan ditimbun. Hal itu terjadi karena ada disparitas harga yang tinggi antara kebijakan HET dengan harga di pasar internasional.

Di pihak lain, para pelaku bisnis yang diikuti spekulan CPO sepertinya mengetahui bahwa kebijakan HET akan jebol juga. Sambil menunggu harga di dalam negeri menyesuaikan harga internasional. Di rapat dengan DPR RI itu Mendag juga beralasan kementeriannya memiliki keterbatasan wewenang untuk menindak para mafia minyak goreng.

Peraturan Menteri Perdagangan No 11 Tahun 2022 terbaru tentang minyak goreng yang melepas harga sesuai mekanisme pasar (internasional) itu mengingatkan bagaimana pasar dalam negeri tidak bisa terlepas dari fluktuasi pasar internasional. Harga crude palm oil (CPO) yang merupakan bahan baku minyak goreng akan selalu dikaitkan dengan harga internasional.

Dalam kasus ini pemerintah beralasan adanya dampak invasi Rusia ke Ukraina yang berakibat terjadi kelangkaan CPO. Alasannya, Rusia sebagai negara pengekspor minyak konsumsi yang berbahan dasar dari bunga matahari dipaksa tidak bisa mengisi pasar internasional akibat adanya sanksi ekonomi dari AS dan sekutunya.

Menurut Rhido Jusmadi dalam bukunya Kosep Hukum Persaingan Usaha : Sejarah, Perdangan Bebas, dan Pengaturan Merger – Akuisis, Setara Pres (2014), fenomena keterkaitan harga domestik dengan pasar internasional sebenarnya sudah terjadi sejak 1990-an seiring dengan era globalisasi perdagangan.  

Hal itu  telah mengakibatkan banyak negara termasuk Indonesia cenderung mengadopsi kebijakan deregulasi, privatisasi, serta perdagangan bebas. Fenomena tersebut  telah berkembang dan didukung oleh adanya hubungan yang terkait antara pengambil keputusan dengan para pelaku usaha, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Dari sinilah sebenarnya fenomena kelangkaan minyak goreng di dalam negeri bisa terjadi selama berbulan-bulan. Salah satu penyebab lain yakni struktur bisnis CPO di dalam negeri yang mengarah pada oligopoli.     

Pada kasus kali ini,  minimnya jumlah pelaku usaha minyak goreng nasional mengarah pada oligopoli kolusif yang menyebabkan kartel dan kepemimpinan harga. Dalam Kamus Hukum Ekonomi ELIPS, kartel (cartel) diartikan sebagai persekongkolan atau persekutuan diantara beberapa produsen produk sejenis dengan maksud untuk mengontrol produksi, harga, dan penjualannya, serta untuk memperoleh posisi monopoli.

Berdasarkan hukum anti monopoli, kartel sebenarnya dilarang karena dipastikan akan merugikan kepentingan masyarakat atau suatu negara. Maka tidak heran penerapan HET sebesar Rp14 ribu oleh pemerintah cq Kemendag tidak berjalan mulus di lapangan.

Maka tidak heran, jika Menteri Lutfi seperti tidak mau disalahkan dan mencari kambing hitam. Sebagai menteri atau pemegang kebijakan memang seharusnya Mendag tidak boleh bersikap demikian. Justru  sikap tersebut menunjukkan bahwa pemerintah justru sudah tunduk pada kartel minyak goreng.

Bahkan sudah menjadi rahasia umum keberadaan kartel atau yang disebut sebagai mafia itu selalu mencari celah beroperasi di Kemendag. Jadi keputusan mencabut HET seharusnya tidak terjadi jika Kemendag bersikeras dengan memotong ulah mafia atau kartel atas nama kepentingan masyarakat luas yang kondisinya saat ini sedang tidak berdaya.

Kemendag sebenarnya bisa tetap memberlakukan HET Rp 14 ribu per liter karena sudah dilengkapi dengan sumber daya negara seperti kepolisian dan kejaksaan bahkan Undang-Undang Antimonopoli. Sekadar mengingatkan, penerbitan UU Antimonopoli sendiri di Indonesia merupakan upaya untuk mereformasi hukum di bidang ekonomi yang berasaskan pada demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dengan kepentingan umum.

Nasi telah menjadi bubur, HET sudah dicabut. Hal itu juga menganulir penjelasan Kemendag sebelumnya tentang keterlimpahan minyak goreng di pasaran berdasarkan kebijakan DMO sebesar 20%, ternyata hanya di atas kertas.

Beberapa fakta di lapangan sebenarnya sudah membuktikan bahwa ada semacam pembangkaan dari pelaku usaha minyak goreng terhadap kebijakan negara dengan berbagai alasan mereka. Sekadar contoh Satgas Pangan Kepolisian pun sempat menggerebek penimbun minyak goreng sebanyak 1,1 juta kilogram di Deli Serdang, Sumatra Utara. Walaupun, pihak Polda Sumatra Utara, beberapa waktu kemudian menyatakan temuan itu bukanlah bagian dari aksi penimbunan. Di pelabuhan-pelabuhan besar upaya penyelundupan pun sempat ditangkapi, tinggal kesungguhan aparat untuk memproses hukum.

Senada dengan hal itu, pengamat ekonomi Bhima Yudhistira berpendapat bahwa pemerintah sebenarnya mampu menegakkan HET dengan cara menindak tegas mafia dan kartel minyak goreng tadi. Menurut Yudi, kalau DMO dan HET diberlakukan dengan baik masalah kelangkaan minyak goreng bisa diatasi.

Memang tidak fair juga bagi pengusaha bila dipaksa jual rugi di pasar domestik. Namun alasan itu terbantahkan karena pemerintah sudah mengantisipasinya dengan subsidi DMO yang disalurkan melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).  Rencana subsidi tersebut sebesar Rp7,6 triliun untuk menjamin pasokan sebanyak 1,2 miliar liter selama 6 bulan, dari Februari hingga Juli 2022 atau seusai lebaran Idulfitri.

Dari  fenomena kelangkaan minyak goreng di pasaran YLKI  meminta Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk mengusut adanya dugaan kartel dalam bisnis minyak goreng. Sekaligus mendesak pemerintah untuk transparan, sebenarnya DMO  20% itu mengalir ke mana saja. Memang aneh  jika subsidi disalurkan ternyata minyak goreng masih langka di pasaran.

Sebaliknya dengan telanjang terlihat, setelah HET  dicabut kini barangnya justru membanjiri pasar namun dengan harga yang memberatkan masyarakat. Sebagai negara penghasil CPO terbesar di dunia, kuat dugaan kekuatan kartel atau mafia bisinis di Indonesia lebih dominan. Tentu saja hal itu bisa terjadi karena lemahnya Kemendag dalam menjalankan salah satu fungsinya yakni menjamin stok kebutuhan pokok rakyat dan stabilisasi harga komoditas.

Kondisi di Indonesia ini sangat berbeda di negara tetangga,  Malaysia. Sebagai salah satu negara penghasil sawit terbesar di dunia -sama seperti Indonesia- pemerintah di sana bisa menetapkan HET sebesar 2,5 ringgit atau sekitar Rp8.500 per kilogramnya.

Sebenarnya kebijakan yang dijalankan oleh pemerintah Malaysia tidak jauh berbeda dengan Indonesia, yakni melalui program Cooking Oil Stabilization Scheme (COSS) memberikan subsidi langsung untuk menjaga daya beli masyarakatnya, sekaligus tidak merugikan produsen minyak goreng.

Skema DMO yang dijalankan pemerintah Indonesia memang terlihat bagus di atas kertas, namun pelaksanaannya di lapangan banyak dikeluhkan oleh pengusaha minyak goreng karena penyaluran subsidinya yang seret.    

Yang jelas, kekalahan Kemendag dalam pengendalian harga minyak goreng kali ini tentu sebuah preseden buruk. Dan tidak tertutup kemungkinan kejadian serupa akan menimpa produk komoditas lainnya dalam waktu dekat.

Seharusnya Kemendag belajar dari pengalaman tahun-tahun sebelumnya. Dengan membuat kebijakan yang tepat dan strategis untuk menghadapi gejolak pasar dan struktur lingkungan bisnis yang oligopoli tersebut agar tidak membebani masyarakat.

Apalagi tidak lama lagi, kebutuhan masyarakat terhadap kebutuhan pokok dipastikan semakin besar untuk menyambut tradisi lebaran. Sebut saja harga gula, tepung terigu, kedelai yang saat ini sudah merangkak naik.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya