Headline

Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.

Fokus

Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.

Nyanyian Napoleon Bonaparte dalam Dakwaan

Cahya Mulyana
02/11/2020 16:40
Nyanyian Napoleon Bonaparte dalam Dakwaan
Gratifikasi(Ilustrasi)

KEPALA Divisi Hubungan Internasional Polri, Irjen Pol Napoleon Bonaparte didakwa telah menerima suap SGD200 ribu dan US$270 atau sekitar Rp6.1 miliar penghapusan red notice terpidana korupsi hak tagih (cessie) Bank Bali, Djoko Tjandra.

Dalam sidang pembacaan surat dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (2/11), Jaksa Penuntut Umum (JPU) Zulkipli juga menyebutkan, jatah uang tersebut harus dibagi dengan pejabat yang menempatkannya sebagai Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri.

"Terdakwa Irjen Napoleon Bonaparte, M.Si., tidak mau menerima uang dengan nominal tersebut (US$ 50 ribu) dengan mengatakan 'Ini apaan nih segini, ga mau saya. Naik ji jadi tujuh (Rp7 miliar) ji soalnya kan buat depan juga bukan buat saya sendiri. Yang nempatin saya kan beliau dan berkata 'petinggi kita ini'," ungkap JPU Zulkipli.

Menurut Zulkipli, pengakuan Napoleon itu terungkap saat teman Joko Tjandra, Tommy Sumardi membawa US$50 ribu untuk menghapus nama Joko Tjandra dari red notice yang dicatatkan di Direktrorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM. Saat itu Tommy didampingi Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri Brigjen Prasetijo Utomo yang sebelumnya sudah menerima US$50 ribu.

Tommy merupakan kolega Djoko Tjandra dan diminta menanyakan status Interpol Red Notice atas nama dirinya di NCB INTERPOL Indonesia pada Divisi Hubungan Internasional Polri. Tommy meminta bantuan Prasetijo dan mengenalkan kepada Napoleon.

Napoleon mengaku bisa menghilangkan nama Joko dari red notice dengan mahar Rp3 miliar. "Red notice Joko Tjandra bisa dibuka karena Lyon (Prancis) yang buka. Saya bisa buka asal ada uangnye," ujar Napoleon seperti dituturkan Zulkipli.

Tommy kemudian meminta penjelasan Napoleon mengenai jumlah uang yang harus dibayarkan untuk menghilangkan nama Joko Tjandra. Kemudian dijawab Napoleon "3 lah ji (Rp3 milliar)," jawab Napoleon juga dituturkan Zulkipli.

Tommy kemudian meminta Joko mengirim US$100 ribu untuk diserahkan ke Napoleon dan Prasetijo. Tommy meminta Prasetijo menemaninya untuk menghadap Napoleon dalam rangka penyerahan uang tersebut.

Baca juga : Usut Kebakaran Kejagung, Polri akan Periksa Dirut PT APM

"Sebelum sampai ke ruang Napoleon, Brigjen Prasetijo Utomo, melihat uang yang dibawa oleh Tommy Sumardi, kemudian mengatakan 'banyak banget ini ji buat beliau? Buat gue mana?' dan saat itu uang dibelah dua oleh Brigjen Prasetijo Utomo, dengan mengatakan "ini buat gw (US$50ribu), nah ini buat beliau (Napoleon US$50ribu) sambil menunjukkan uang yang sudah dibagi dua," papar Zulkipli.

Tommy kemudian meminta uang tambahan untuk memenuhi permintaan Napoleon secara bertahap kepada Joko Tjandra. Hingga jumlah seluruhnya mencapai SGD200 ribu dan US$270 atau sekitar Rp6.1 miliar.

Setelah menerima uang tersebut, Napoleon memerintahkan anak buahnya Kombes Pol. Tommy Aria Dwianto untuk membuat surat yang ditandatangani oleh An. Kadivhubinter Polri Sekretaris NCB Interpol Indonesia Brigjen Pol. Nugroho Slamet Wibowo untuk Ditjen Imigrasi Kemenkumham yang berisi penghapusan Interpol Red Notice.

Akibat permintaan dari perbuatan tersebut, Ditjen Imigrasi Kemenkumham menghapus status DPO Joko Soegiarto Tjandra dari sistem ECS pada SIMKIM Ditjen Imigrasi dan digunakan oleh Joko Tjandra untuk masuk wilayah Indonesia dan mengajukan PK pada Juni 2020 di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

"Atas penerimaan uang tersebut, Napoleon Bonaparte dan Prasetijo Utomo diancam pidana dalam pasal 5 ayat 2 jo pasal 5 ayat 1 huruf a atau huruf b atau pasal 11 atau pasal 12 huruf a atau pasal 12 huruf b UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP," pungkas Zulkipli.

Pasal mengatur mengenai bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji dapat dipidana paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun. (OL-2)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Baharman
Berita Lainnya