Headline

Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.

Fokus

Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.

RUU Penyiaran Harus Dikaji Ulang, Berpotensi Gembosi Kebebasan Pers

Devi Harahap
14/5/2024 10:10
RUU Penyiaran Harus Dikaji Ulang, Berpotensi Gembosi Kebebasan Pers
Ilustrasi(123rf.com)

PROSES revisi regulasi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2022 Tentang Penyiaran tengah menjadi sorotan tajam publik dan insan pers. Draft Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran itu mengundang kekhawatiran atas potensi pembatasan kebebasan pers dan kreativitas di ruang digital sebab, sejumlah pasal dalam draf usulan DPR itu dianggap melawan arus kebebasan pers.

Pada draft RUU Penyiaran yang beredar luas di masyarakat, terdapat Pasal 56 Ayat 2, yang akan mengatur adanya melarang penayangan eksklusif kegiatan jurnalistik investigasi. Bila pasal ini disahkan, ma­syarakat tidak akan mendapat tayangan eksklusif dari pendala­man sebuah kasus yang dilaku­kan dengan cara-cara jurnalistik investigasi.

Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Dewan Pers Yadi Hendriana mengatakan bahwa adanya larangan mengenai penayangan eksklusif jurnalistik investigasi yang tertulis pada Draf RUU Penyiaran akan berdampak pada kualitas independensi siaran sebab pemerintah akan muda campur tangan hingga berpotensi melakukan pembatasan peliputan sebab bertentangan dengan semangat kemerdekaan pers.

Baca juga : RUU Penyiaran Dikritik, DPR Sebut Jadi Masukan untuk Menyempurnakan

“Pasal tersebut berbahaya karena larangan mengenai liputan investigasi seperti dalam rancangan undang-undang ini, akan menyebabkan adanya campur tangan dari regulator pemerintah. Apa dasarnya pelarangan ini, pelarangan ini justru akan memberangus pers,” ujarnya di Jakarta pada Minggu (12/5).

Selain itu, pada draf RUU Penyiaran Pasal 50 akan menjadikan semua tayangan siaran media sebagai subjek pengawasan KPI melalui pedoman perilaku penyiaran. Hal itu meliputi media berbasis milik negara, perusahaan platform gratis dan berbayar hingga penyedia konten basis komunitas non-profit.

Tak sampai disitu, hal yang juga menuai kon­troversi ialah Pasal 127 Ayat 2 terkait proses penyelesaian sengketa dalam kegiatan jurnalistik. Pasal tersebut menyatakan, penyelesa­ian sengketa kegiatan jurnalistik dilakukan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

Baca juga : Hari Pers Sedunia, Komisi I DPR: Garda Terdepan Sampaikan Kebenaran

Yadi menegaskan, pasal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 1999 yang mengamanatkan, sengketa pers diselesaikan me­lalui Dewan Pers. Dikatakan bahwa dalam aturan tersebut, telah diatur panduan kode etik jurnalistik yang sudah disahkan oleh Dewan Pers dan masyarakat pers seluruh Indonesia.

“Sengketa pers ada di Pasal 15 Undang-Undang Pers. Pasal itu mengatur tentang fungsi-fungsi Dewan Pers, salh satu­nya memberi pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers,” ungkapnya.

Menurut Yadi, UU Pers telah menegaskan bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud ke­daulatan rakyat yang berasaskan pada prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum, sehingga dilibatkannya KPI dalam proses penyelesaian sengketa kegiatan jurnalistik, akan mengindikasikan adanya upaya campur tangan dari pemerintah dalam kegiatan jurnalistik.

Baca juga : Meutya Hafid: RRI Surakarta Bisa Jadi Percontohan RRI dalam Edukasi Pemilu 2024

“Penyelesaian sengketa pers itu salah satunya memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers. Jadi Dewan Pers satu-satunya lembaga yang diberi kewenangan oleh UU untuk menyelesaikan sengketa pers,” imbuhnya.

Yadi berharap dengan adanya beberapa pasal bermasalah dalam RUU Penyiaran, pihaknya meminta kepada pemerintah agar segera membuka diskusi kepada para ahli media dan pelaku media massa untuk saling memberi perspektif dan masukan.

“Para membuat RUU ini harus mengkomunikasikan dengan masyarakat pers, harus ada diskusi dan dialog. Jangan sampai kemudian ini akan jadi backfire dan akan membungkam kebebasan berpendapat, kebebasan pers yang justru menjadi kunci dari tumbuhnya demokrasi di Tanah Air,” katanya.

Terpisah, Ketua Forum Pemimpin Redaksi (Pemred), Arifin Asydhad mengatakan pihaknya hingga saat ini masih mempelajari secara detail dan melakukan berbagai konfirmasi kepada berbagai pihak mengenai isi RUU Penyiaran.

“Forum Pemred sudah pasti selalu mendukung upaya-upaya untuk penegakan kebebasan dan kemerdekaan pers. Karena itu, apabila memang ada upaya-upaya menghalangi kemerdekaan pers, Forum Pemred pasti akan mengkritik dan melawannya,” jelasnya.(H-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Indrastuti
Berita Lainnya