Headline

Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.

Fokus

Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.

Mengawal Keberlangsungan Pesisir Cirebon

Dr Lamona I Bernawis, MS c, dkk
02/8/2022 07:35

DI Indonesia, pesisir Cirebon merupakan salah satu pesisir terpadat di wilayah pantai utara (pantura). Menghadap ke Laut Jawa, pesisir Cirebon memiliki sedimen lumpur yang sangat halus sehingga perairan tersebut berwarna gelap. Namun, pesisir dan perairan Cirebon memiliki peran penting dalam mendukung kegiatan ekonomi masyarakat, menunjang kegiatan wisata, keberlangsungan aktivitas pelabuhan sebagai jalur transportasi antarkepulauan Indonesia (khususnya jalur batu bara dan perikanan), serta tempat sumber energi listrik masyarakat sekitar, yaitu PLTU (pembangkit listrik tenaga uap).

Kepadatan penduduk yang terus meningkat dan berbagai aktivitas di pesisir ataupun perairan Cirebon yang belum terkelola dengan baik merupakan salah satu faktor timbulnya permasalahan lingkungan. Dari beberapa tempat di pesisir Cirebon, ditemukan tumpukan sampah dan perubahan garis pantai dari tahun ke tahun yang cukup signifikan. Selain itu, adanya sungai yang bermuara ke laut menghadirkan risiko terbawanya berbagai polutan dari darat. Hal tersebut dapat berdampak penurunan kualitas air laut di perairan Cirebon.

Keberadaan multikampus di Cirebon dan fasilitas peralatan serta kapal riset bersama Korea-Indonesia MTCRC (Marine Technology and Cooperation Research Center) yang berlokasi di Cirebon mendorong Kelompok Keahlian Oseanografi untuk melaksanakan beberapa penelitian dalam upaya menjawab permasalahan yang ada di pesisir dan perairan Cirebon.

Dalam rangka penerapan tridarma perguruan tinggi melalui program penelitian, pengabdian masyarakat dan inovasi (PPMI) ITB, Kelompok Keahlian Oseanografi FITB ITB melakukan pengabdian masyarakat berupa penyampaian informasi dari hasil penelitian yang telah dilakukan kepada pemangku kepentingan di Kota Cirebon dan Kabupaten Cirebon mengenai keadaan perairan pesisir Cirebon dan forum diskusi. Harapannya, informasi tersebut dapat dimanfaatkan dalam pengambilan keputusan dan kebijakan guna keberlangsungan pesisir dan perairan Cirebon.

Puncak kegiatan tersebut dilakukan pada Jumat, 24 Juni 2022, di kampus Cirebon Arjawinangun ITB yang dihadiri oleh perwakilan dari instansi-instansi terkait dan siswa-siswi dari beberapa sekolah yang ada di Kota dan Kabupaten Cirebon.

Kegiatan dibuka oleh Ketua Kelompok Keahlian Oseanografi FITB ITB sekaligus Wakil Dekan Sumber Daya FITB, Dr Mutiara R Putri, yang menjelaskan keberadaan ITB multikampus di Cirebon. Setelah itu, Prof Nining Sari Ningsih memberi ulasan singkat perihal prodi oseanografi Ganesha dan Cirebon FITB ITB. Sesudahnya, peserta dibagi ke dalam dua ruangan. Ruangan I diisi oleh pemangku kepentingan dari berbagai instansi di Kota dan Kabupaten Cirebon. Sementara itu, Ruangan II diisi oleh siswa-siswi SMU dari Kota dan Kabupaten Cirebon.

 

Risiko tenggelam

Dalam pemaparannya, Dr Hamzah Latief menjelaskan mengenai kondisi pesisir Cirebon, seperti perubahan garis pantai yang terjadi hingga tindakan preventif berupa mitigasi bencana yang dapat dilakukan. Disampaikan bahwa kenaikan muka air laut akan terus terjadi sebagai akibat dari perubahan iklim. Apabila langkah preventif tidak diambil, di masa depan, pesisir Cirebon berisiko tenggelam. Selain itu, apabila penggunaan air tanah tidak terkendali, kasus penurunan tanah seperti di Semarang dan Jakarta dapat terjadi di Cirebon. Karena itu, langkah preventif yang dapat dilakukan untuk melakukan proteksi pesisir Cirebon ialah perlu dilakukan rekayasa pantai yang baik.

Cirebon memiliki karakteristik pantai dengan kemiringan yang landai, berpasir kasar, halus, hingga berlumpur. Banyaknya kegiatan manusia di wilayah pesisir, seperti industri, perikanan, hingga agrikultura, memengaruhi kondisi pesisir. Tantangan yang dihadapi pesisir Cirebon ialah kenaikan muka air laut, degradasi ekosistem, dan perubahan morfologi pantai. Perubahan morfologi pantai yang paling mudah diamati ialah perubahan garis pantai. Perubahan garis pantai terjadi akibat adanya proses abrasi dan sedimentasi. Akresi atau sedimentasi yang terjadi di wilayah Cirebon disebabkan sungai-sungai besar yang mendeposisikan sedimen dengan jumlah yang cukup banyak. Abrasi menyebabkan pengurangan lahan dan kerusakan area tambak masyarakat.

Perubahan garis pantai yang paling mencolok berada di wilayah Kecamatan Losari, Kabupaten Cirebon. Di wilayah tersebut, selama kurun 1997 hingga 2022, telah terjadi abrasi yang menyebabkan mundurnya garis pantai sejauh 913 meter. Berdasarkan prediksi secara linear untuk perubahan garis pantai Cirebon pada 2030, apabila tidak ada pengelolaan dan manajemen pesisir yang baik, sebagian besar wilayah Cirebon, khususnya Kecamatan Losari, akan mengalami abrasi yang cukup tinggi. Di sisi lain, di sebelah timur wilayah tersebut diprediksi akan mengalami akresi. Akibatnya, di masa depan akan ada konflik lahan dengan wilayah sekitar yang berbatasan langsung.

Berdasarkan hasil analisis mengenai kenaikan muka air laut, Kota Cirebon memiliki ancaman bahaya kenaikan muka air laut reguler dengan tingkatan sangat rendah hingga rendah (0,3 hingga 1,0 meter). Namun, pada masa mendatang (2030), ancaman itu dapat meningkat dengan tingkatan sedang (1,0 hingga 2,0 meter) apabila terdapat akumulasi bencana hidrooseanografi, terutama pada kondisi ekstrem pasang surut HHWL (highest high water level). Sementara itu, berdasarkan wilayah rendaman, dengan bertambahnya tahun, frekuensi rendaman akan meningkat menjadi enam kali untuk proyeksi pada 2025–2029 dengan ketinggian rendaman 176,97 cm (baseline) menjadi 181.89 cm (projection) di pesisir pantai Cirebon.

Saat ini sudah dilakukan pembangunan tembok laut untuk mengurangi dampak kenaikan muka laut. Namun, tantangan di masa depan perlu adanya adaptasi untuk menjaga agar kerentanan yang ada dijauhkan dari bahaya, khususnya daerah dengan potensi ancaman. Adaptasi yang dianjurkan, yaitu hard protection, proteksi pantai dilakukan dengan membangun struktur pantai seperti tembok pantai ataupun breakwater; soft protection, proteksi pantai dilakukan dengan meningkatkan kemampuan dari pelindung alami, seperti terumbu karang, gumuk pasir, dan hutan pesisir; dan hybrid, yang menggabungkan adaptasi hard dan soft protection.

 

Sebaran polutan dan nutrien

Selanjutnya, kajian persebaran polutan dan nutrien di perairan Cirebon disampaikan penulis. Didanai oleh program Pengembangan Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Materi 2022 dalam CORE (Center for Oceanographical Research and Education), riset tahun ini bertujuan untuk mengetahui sebaran nutrien (fosfat dan nitrat) dan polutan berupa logam berat (Hg, Cd, dan Pb) di perairan Cirebon.

Karena riset sebenarnya masih berlangsung, penulis penyampaikan hasil survei pertama yang sudah dilakukan. Dalam presentasi ini, sebaran suhu, salinitas, klorofil, nutrien dan logam berat, serta vektor arus perairan Cirebon dijelaskan.

Suhu permukaan laut perairan Cirebon berkisar pada nilai 30–31.4 derajat Celsius. Salinitas relatif rendah sebagaimana normal untuk Laut Jawa, yakni sekitar 29 PSU (practical salinity unit) di daerah muara Kali Bondet sampai dengan 31 PSU di sisi Kecamatan Losari.

Survei perdana mendapati konsentrasi nitrat yang melebihi normal. Namun, itu perlu dikonfirmasi kembali dengan hasil survei-observasi pada kemudian hari. Adapun dugaan penyebab nitrat yang cukup tinggi ialah karena pengambilan sampel air laut dilakukan persis sehari sesudah badai. Kejadian badai dapat mengaduk perairan sehingga unsur nutrien/hara yang mengendap di dasar bisa naik ke kolom air yang lebih dekat permukaan. Khususnya perairan di depan pesisir Cirebon yang disurvei rata-rata kedalaman maksimalnya hanya 10 meter. Sementara itu, konsentrasi polutan untuk logam berat relatif aman. Selanjutnya, jika sudah dilakukan tiga kali observasi dalam musim yang berbeda, akan dianalisis lebih lanjut.

Materi terakhir disampaikan pihak Korea-Indonesia MTCRC mengenai kegiatan penelitian dan survei di pesisir dan perairan Cirebon sejak 2020 hingga 2022 yang diwakilkan oleh Riam Badriana dan Umar Abdurrahman. Dalam sesi tersebut, setiap instrumen yang diberikan Korea kepada ITB melalui program hibah diperkenalkan satu persatu seperti instrumen MBES (multi-beam echosounder) dan SBES (single beam echosounder) untuk pengukuran kedalaman laut atau SBP (sub-bottom profiler) untuk mengukur ketebalan lapisan sedimen bawah laut, serta ADCP (acoustic doppler current profiler) untuk pengukuran arus laut.

Penelitian di Cirebon ini terkait dengan adanya program ODA (Official Development Assistant) antara Korea dan Indonesia. Pada 2020, pengukuran batimetri dan kedalaman dilaksanakan di wilayah perairan Pelabuhan Kejawanan. Selanjutnya, pada 2021 dan 2022, survei dilaksanakan di perairan Cirebon yang lebih dalam. Kegiatan lainnya melibatkan pengukuran arus, pasang surut, perubahan garis pantai, tutupan mangrove, kualitas air laut, hingga sampel sedimen. Di samping kegiatan survei, kegiatan seperti peningkatan kualitas sumber daya manusia melaui pelatihan kerap dilaksanakan guna menambah kemampuan dan pengetahuan pelajar, akademisi, ataupun para pemangku kepentingan.

Untuk penelitian dinamika pesisir, Umar menjelaskan pemanfaatan setiap drone yang dimiliki di kantor MTCRC dan survei pantai yang pernah dilakukan di Cirebon, yakni di wilayah Gunungjati, Lemahwungkuk, Rawaurip, Karanganom, dan Losari. Berdasarkan tren perubahan garis pantai, telah diamati melalui citra satelit dari 1996 hingga 2021 bahwa area erosi terlihat di daerah Losari dan Pangenan, sedangkan sedimentasi terjadi di banyak tempat meskipun lajunya lebih rendah daripada erosi.

Kajian tersebut telah diinformasikan kepada Bappelitbangda Cirebon sebagai pemangku kepentingan lokal dan dipublikasikan secara ilmiah. Proyeksi garis pantai untuk 10 dan 20 tahun mendatang digambarkan untuk memberikan wawasan kepada para partisipan. Drone memiliki kualitas dan resolusi yang lebih baik jika dibandingkan dengan pengamatan satelit meskipun cakupan area pengamatan tidak seluas satelit. Dari hasil drone, dapat dilihat lokasi actual monitoring, antara lain hard structure, mangrove (soft structure), salt pond, dll.

 

Sosialisasi bagi pelajar

Kegiatan sosialisasi dilakukan juga di ruangan II. Hanya, dari segi materi disesuaikan sehingga informasi yang disampaikan dapat diterima siswa dan siswi. Pemateri di ruangan II diisi oleh Avissa Putri dan Joni Syofian yang merupakan mahasiswa dari program studi oseanografi serta Indrawan Fadhil Pratyaksa yang merupakan perwakilan dari Korea–Indonesia MTCRC. Materi pertama disampaikan oleh Avissa Putri mengenai perubahan garis pantai yang terjadi di Kabupaten dan Kota Cirebon. Peserta diajak melihat perubahan garis pantai dari 1997 ke 2022 di beberapa lokasi. Dari materi tersebut, diketahui selama 25 tahun, beberapa lokasi terjadi abrasi dan akresi.

Materi kedua disampaikan Joni Syofian mengenai persebaran nutrien dan polutan di perairan Cirebon. Peserta diajak mengamati pola persebaran nutrien dan polutan, termasuk salinitas, suhu permukaan laut, dan tingkat keasaman air laut (pH). Materi terakhir disampaikan Indrawan Fadhil Pratyaksa mengenai kegiatan survei dan penelitian apa saja yang telah dilakukan MTCRC hingga saat ini. Setelah pemaparan materi dilakukan, peserta siswa-siswi SMU diajak bertukar pengalaman mengenai kehidupan perkuliahan mengingat peserta yang mengikuti kegiatan tersebut akan meneruskan pendidikan ke tingkat yang lebih lanjut.

Baik di Ruang I maupun Ruang II, peserta sangat antusias mengikuti rangkaian kegiatan. Tampak peserta menyampaikan kekhawatiran dan keingintahuan bagaimana langkah yang tepat dalam penyusunan kebijakan guna membuat keputusan yang tepat untuk menjaga pesisir dan perairan Cirebon. Rangkaian kegiatan lantas ditutup dengan ekskursi ke kapal ARA yang terletak di Pelabuhan Indonesia Regional II Cabang Cirebon.

Peserta berharap kegiatan seperti ini dapat dilakukan secara rutin agar dapat menjadi media diskusi dalam upaya menjawab permasalahan yang ada. “Semoga acara sosialisasi dan hasil-hasil penelitian maupun pengabdian masyarakat ITB dapat berjalan secara rutin dan berkelanjutan dengan sinergi AGC (academics, government, dan community),” ujar Teni Novianti, dari Universitas Nahdlatul Ulama Cirebon.

Samsina, selaku perwakilan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Cirebon pun berharap kegiatan pengabdian masyarakat seperti ini ataupun kegiatan penelitian dapat bekerja sama di masa mendatang. (M-2)

 

 

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya