Headline
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.
Kebijakan cukai hasil tembakau (CHT) yang berlaku saat ini, baik dari sisi tarif dan strukturnya, dinilai masih belum efektif dalam menekan prevalensi perokok dan mengoptimalkan penerimaan negara. Dalam paparan APBN Kita edisi Mei 2024, Menteri Keuangan Sri Muyani mengatakan penerimaan cukai mengalami penurunan sebesar 0,5% dibandingkan tahun sebelumnya. Itu dipicu oleh merosotnya penerimaan CHT yang merupakan kontributor mayoritas penerimaan cukai.
Kebijakan kenaikan CHT sebesar 10% di 2024 dinilai tidak efektif karena masyarakat hanya berpindah konsumsi ke rokok yang lebih murah dan rokok ilegal. Itu tercermin dari penurunan golongan 1 sebesar 3% secara tahunan, tapi terjadi kenaikan di golongan 2, yaitu 14,2 % secara tahunan.
Peneliti Pusat Industri Perdagangan dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Ahmad Heri Firdaus, melihat penurunan realisasi CHT dan produksinya perlu dievaluasi, terutama jika kenaikan cukainya terlalu tinggi. Menurutnya, kenaikan cukai yang fluktuatif hingga eksesif dapat mempengaruhi penurunan penerimaan yang jauh lebih besar lagi.
Baca juga : Penerimaan Cukai Rokok Turun Bukan Berarti Kurangi Konsumsi Rokok Masyarakat
Walau sudah ditetapkan sistem multiyears yang memudahkan pelaku usaha, Heri mengatakan besaran tarifnya juga harus tetap diperhatikan dan jangan terlalu eksesif.
"Karena cukai kan bergantung pada CHT, jadi kenaikan ke depan harus hati-hati betul jangan sampai penerimaan cukai justru tidak optimal," ungkap Heri melalui keterangan resmi, Kamis (6/6).
Heri menjelaskan kenaikan harga rokok yang lebih tinggi dari inflasi akan mengubah perilaku perokok untuk menyesuaikan konsumsi rokok dengan pendapatan. Artinya kesempatan perokok untuk berpindah konsumsi ke rokok yang lebih mudah dijangkau atau rokok murah akan semakin tinggi, bahkan ke rokok ilegal. Hal ini tentu merugikan kesehatan masyarakat dan adanya potensi penerimaan cukai yang hilang.
Baca juga : Bea Cukai Batam Gagalkan Penyelundupan Rokok Ilegal dan Terapkan Asas Ultimum Remedium
"Artinya harus ada benteng lain selain cukai yang harus dikuatkan karena selama ini unsur pengendalian yang berjalan baru cukai. Tapi tetap harus memperhatikan perlindungan industri dan penyerapan tenaga kerjanya, jadi harus hati-hati betul," ucapnya.
Dalam menetapkan kebijakan cukai, Heri merekomendasikan perlu adanya roadmap jangka panjang untuk struktur tarif cukai agar perhitungannya transparan.
"Jadi memang perlu dibenahi struktur tarif cukai supaya semua tahu argumentasi dan rumusnya. Formula tarif cukainya juga harus jelas supaya kuat argumennya," tegasnya.
Baca juga : Asap Rokok Tingkatkan Risiko Kanker Paru Hingga 20 Kali Lipat Baik untuk Perokok Aktif Maupun Pasif
Terkait peralihan konsumsi ke rokok murah, Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Agus Suyanto, menjelaskan banyaknya layer dalam struktur tarif cukai rokok mempengaruhi besarnya tarif cukai dan harga produk-produk tembakau di Indonesia.
“Perbedaan pungutan cukai dari masing-masing layer itu cukup signifikan. Ini yang memicu produsen berpindah dari satu layer ke layer lainnya dengan cara memproduksi barang sejenis bermerek baru dengan harga lebih murah,” katanya.
Menyoroti cepatnya pertumbuhan rokok yang lebih murah di golongan 2 dan 3, Agus menyarankan kerumitan ini perlu diselesaikan dengan membenahi struktur tarif cukai di Indonesia yang saat ini termasuk paling kompleks di dunia. Hal ini dikarenakan penerapan struktur tarif cukai yang berlapis dapat mendorong menjamurnya merek rokok baru dengan harga yang lebih murah.
“Pemerintah harus berani memangkas gap pungutan cukai antara satu layer dengan layer lainnya untuk mempersempit perbedaan harga. Dengan demikian, pilihan konsumen ke produk yang lebih murah menjadi semakin sempit,” tuturnya.
Senada dengan pernyataan Agus, berkaitan dengan struktur tarif cukai, Heri juga menyarankan agar jarak antara satu layer dengan layer lainnya untuk dikecilkan secara optimal. “Aturan ini juga perlu diimbangi dengan penetapan tarif cukai yang ideal dan tidak eksesif atau tidak terlalu tinggi untuk mengurangi perpindahan konsumsi ke rokok yang lebih murah,” tandas Agus. (Z-11)
PRESIDEN Joko Widodo melalui Kementerian Kesehatan memberikan lampu hijau kepada Kementerian Keuangan untuk mengenakan cukai atas pangan olahan, termasuk pangan olahan cepat saji.
RENCANA pemerintah memperluas penerimaan cukai ke tiket konser, deterjen, hingga makanan cepat saji dinilai bisa memperburuk kondisi ekonomi Indonesia.
PEMERINTAH menyasar minuman berpemanis dalam kemasan sebagai objek cukai baru. Ini mencakup minuman yang mengandung gula, pemanis alami, hingga pemanis buatan.
Tiket konser, deterjen, hingga makanan cepat saji masuk dalam prakajian yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan sebagai objek perluasan cukai.
Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Bea Cukai, Nirwala Dwi Heriyanto, memberikan tanggapan terkait isu kebijakan ekstensifikasi cukai.
Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) secara tegas menolak pasal tembakau dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan.
Kanker paru-paru diketahui menjadi salah satu jenis kanker yang paling sering terjadi pada pria. Lalu kenapa pria lebih sering terkena kanker paru-paru? Mari simak penjelasannya.
Data Outlook Perokok Pelajar Indonesia pada 2023, sebanyak 47,06% anak membeli rokok secara eceran dengan tempat membeli rokok terbanyak di kios.
PDPI dan Kenvue akan melaksanakan kegiatan edukasi dan promosi kesehatan untuk mendukung program Upaya Berhenti Merokok dalam Promosi Kesehatan.
KOMITE Penanggulangan Penyakit Respirasi dan Dampak Polusi Udara dr Agus Dwi Susanto menjelaskan terdapat 3 dampak dari buruknya kualitas udara di suatu kota
Selain deteksi dini untuk screening kanker paru, yang perlu diperhatikan pemerintah adalah regulasi terkait pembelian rokok oleh remaja maupun anak sekolah.
Jika perokok sudah terkena penyakit, pemulihannya bisa lebih lambat dibandingkan yang masih menjalankan pola hidup sehat.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved