Headline

Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.

Fokus

Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.

Kasus Migor, Benny Soetrisno: Hukuman Berlebihan Investor bakal Lari

Mediaindonesia.com
26/12/2022 07:30
Kasus Migor, Benny Soetrisno: Hukuman Berlebihan Investor bakal Lari
Terdakwa kasus dugaan korupsi terkait izin ekspor minyak sawit mentah Indra Sari Wisnu Wardhana (kanan) dan Stanley MA (kiri).(Antara/Rivan Awal Lingga.)

KETUA Bidang Perdagangan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Benny Soetrisno menilai tuntutan yang disampaikan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam persidangan kasus minyak goreng terlalu berlebihan. Tuntutan tersebut dipastikan akan membuat para investor dan calon investor ketakutan menjalankan usaha atau menanamkan investasinya di Indonesia. 

Bahkan tuntutan JPU tersebut dikhawatirkan semakin memperlihatkan bahwa kepastian hukum di Indonesia benar-benar tidak ada. "Kalau memang bersalah, ya harus dihukum tetapi magnitude (kasusnya) tidak sebesar itu. Kalau tuntutan pidananya seperti itu jelas terlalu jauh dan terkesan mengada-ada. Ini membuat orang dan investor akan semakin takut berusaha dan menanam investasinya di Indonesia," ujar Benny dalam keterangan tertulis, Senin (26/12). 

Sebagaimana diketahui, persidangan kasus minyak goreng memasuki tahapan penuntutan yang dibacakan JPU dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIpikor) Jakarta Pusat, Kamis (22/12/2022). Kasus ini menyeret mantan Dirjen Daglu Kementerian Perdagangan Indra Sari Wisnu Wardhana dan tim asistensi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Weibinanto Halimdjati alias Lin Che Wei. Kemudian, Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia Master Parulian Tumanggor, Senior Manager Corporate Affairs Permata Hijau Group Stanley MA, dan General Manager bagian General Affairs PT Musim Mas Pierre Togar Sitanggang. 

Mereka didakwa melakukan korupsi secara bersama-sama. Mereka didakwa melanggar Pasal 2 ayat 1 atau pasal 3 juncto Pasal 18 undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHPidana. Pada tuntutan pokoknya, JPU meminta Tumanggor divonis 12 tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan. Jaksa meminta hakim menyatakan Tumanggor terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan primer Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tipikor. Jaksa menyebutkan bahwa tindakan Tumanggor dilakukan bersama Indra Sari Wisnu Wardhana dan Weibinanto Halimdjati alias Lin Che Wei, kemudian Stanley MA, dan Pierre Togar Sitanggang. 

Dalam kasus itu, JPU menuntut Tumanggor lebih tinggi dibanding keempat terdakwa lain. JPU meminta hakim menjatuhkan hukuman uang pengganti senilai Rp10,9 triliun terhadap Tumanggor. Jika uang pengganti tersebut tidak dibayarkan, harta benda milik terdakwa dan korporasi akan disita. Sementara apabila harta benda tersebut tidak mencukupi, Tumanggor akan diganjar dengan hukuman pidana badan selama 6 tahun penjara. Benny mengaku kaget jika dalam tuntutan tersebut juga ada uang pengganti serta ancaman menyita aset perusahaan dan pribadi yang nilainya sangat besar. "Ini dipastikan akan semakin membuat orang takut berusaha di Indonesia," tegasnya.

Terkait industri sawit, ujar Benny, semua perizinan, baik ekspor maupun impor, selalu berada di Kementerian Perdagangan. Kemudian rekomendasinya berasal dari kementerian teknis, yakni Kementerian Perindustrian dan Kementerian Pertanian. "Ketika kita ada masalah dan staf di kementerian tidak bisa memberikan solusi, tentu kita akan naik ke otoritas yang lebih tinggi. Ketemu Dirjen bahkan Menteri. Ini proses biasa dan lazim dijalani oleh pengusaha. Saya juga pernah melakukan hal tersebut. Ini proses yang biasa, bussiness as usual. Kalau itu dianggap salah, sebagai pengusaha tentu akan bingung. Kita harus ke mana lagi kalau ada masalah agar ada solusi. Bisa dipastikan tidak akan ada lagi orang yang menjadi pengusaha atau melakukan usaha di Indonesia," tandasnya.

Benny menegaskan, proses bertemu dengan ototitas yang lebih tinggi di kementerian tidak bisa dihindari karena sistem di Indonesia belum sepenuhnya mengadopsi digitalisasi. Ada beberapa kasus yang harus diselesaikan dengan bertemu Dirjen atau bahkan Menteri. "Proses ini yang harus dipahami oleh semua pihak sehingga ada kepastian hukum bagi pengusaha atau investor ketika ingin berusaha atau berbisnis dan menanam investasinya di Indonesia," pungkas Benny. (OL-14)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Wisnu
Berita Lainnya