Kurangi Ekspor Barang Mentah untuk Jaga Neraca Dagang

PEMERINTAH didorong untuk mengurangi ketergantungan ekspor barang mentah demi menjaga keberlanjutan neraca dagang nasional dengan kondisi surplus. Pasalnya, dalam 28 bulan terakhir, kondisi surplus dagang didominasi oleh faktor kenaikan harga di level global.

"Mempertimbangkan potensi normalisasi harga komoditas ekspor Indonesia seperti CPO, karet alam, dan batu bara, ketergantungan terhadap ekspor komoditas mentah perlu dikurangi dan pemerintah perlu mendorong ekspor hilirisasi Sumber Daya Alam (SDA) yang diharapkan akan mendorong peningkatan nilai tambah ekspor," ujar ekonom Bank Permata Josua Pardede, Jumat (16/9).

Pelandaian sejumlah harga komoditas unggulan nasional, kata dia, berpotensi besar untuk mengurangi nilai surplus dagang Indonesia dalam jangka pendek. Perlambatan ekonomi global, utamanya negara mitra dagang Indonesia juga berpotensi mendorong penurunan volume ekpsor nasional.

Karenanya, dorongan hilirisasi industri manufaktur nasional perlu diperkuat agar barang-barang yang diekspor memiliki nilai tambah. Dengan begitu, peluang untuk menjaga keberlanjutan neraca dagang di posisi surplus dapat diraih.

Dari laporan Badan Pusat Statistik (BPS) diketahui, Indonesia kembali mencatatkan surplus neraca dagang pada Agustus 2022 sebesar US$5,76 miliar. Surplus itu lebih tinggi ketimbang bulan sebelumnya yang tercatat mencapai US$4,22 miliar.

Kenaikan surplus ini didorong oleh peningkatan beberapa komoditas seperti CPO HS15, mesin dan peralatan listrik HS85, serta besi dan baja HS72. Kenaikan terbesar ekspor berasal dari HS15 yakni CPO yang naik menjadi US$4,5 miliar, meningkat 25,4% secara bulanan.

Dari sisi volume, BPS mencatat ekspor CPO, sejak dibukanya larangan ekspor terus meningkat. Pada Agustus, ekspor CPO tercatat mencapai 3,6 juta ton, naik dari 2,6 juta ton pada Juli. Selain itu, ekspor dari produk turunan mineral dasar seperti nikel menunjukkan tren peningkatan sejalan dengan arah investasi hilirisasi nikel.

Sementara dari sisi impor, impor bahan baku yang mendominasi sekitar 75% total impor naik tipis 0,35% (mtm) dan 35,4% (yoy) sementara secara kumulatif Jan-Agustus juga naik 33%.

Josua mengatakan, di tengah resesi beberapa negara maju dan pelemahan ekonomi, aktivitas manufaktur tetap ekspansif. Penopang dari aktivitas manufaktur Indonesia saat ini berasal dari permintaan domestik yang semakin kuat sejalan dengan pemulihan ekonomi.

Sementara ekspor manufaktur secara gradual mulai mengalami perlambatan karena perlambatan ekonomi negara maju seperti UE dan AS. "Ke depan, tantangannya adalah bagaimana mengendalikan inflasi setelah kenaikan harga BBM agar daya beli masyarakat tetap terjaga dan tetap menopang permintaan terhadap produk industri manufaktur domestik," jelas Josua.

Senada, ekonom Makroekonomi dan Keuangan LPEM UI Teuku Riefky mengatakan, Indonesia perlu memperkuat kinerja ekspor dengan menggali alternatif komoditas lain yang bernilai tambah.

"Ini di jangka pendek didorong dengan kondisi iklim produksi yang perlu dijaga di domestik dan di jangka panjang hilirisasi yang perlu terus digenjot. Sedangkan sektor yang masih bisa menjadi tumpuan adalah besi baja dan manufaktur secara umum," tandasnya. (OL-8)