Headline

Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.

Fokus

Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.

Kisah Persahabatan antara Manusia dan Sekawanan Burung di Pedalaman Afrika

Adiyanto
08/12/2023 15:46
Kisah Persahabatan antara Manusia dan Sekawanan Burung di Pedalaman Afrika
Suku Yao dan Burung Honeyguide(Claire Spottiswoode / University of Cambridge / AFP))

Relasi antara manusia dan hewan sudah berlangsung sejak berabad silam. Relasi ini tidak selalu berhadapan (bermusuhan), tapi juga saling menguntungkan.

Di beberapa bagian Afrika, para pemburu madu akan bersiul memanggil spesies burung yang dikenal sebagai Greater Honeyguide. Kawanan burung itu lalu akan ‘mengantar’ mereka ke sarang lebah liar. Setelah sarang ditemukan, para pemburu itu akan membukanya, memanen madu dan larva lebah, sementara burung akan memakan lilin sarang lebah yang terbuka. Sebuah kerja sama yang saling menguntungkan.

Dalam studi baru yang diterbitkan Kamis di Jurnal Science, para peneliti menemukan bahwa burung honeyguide di Tanzania dan Mozambik dapat membedakan panggilan pemburu madu, sehingga lebih mudah merespons sinyal yang digunakan di daerah setempat.

“Penetapan makna pada suara arbitrer atau semi-arbitrer adalah salah satu ciri yang menjadi ciri bahasa manusia,” kata penulis utama studi tersebut, Claire Spottiswoode, ahli biologi evolusi di Universitas Cambridge, kepada AFP.

“Penelitian baru menunjukkan fenomena ini meluas ke interaksi kita dengan spesies lain, menunjukkan betapa berkelanjutannya kita dengan alam lainnya," imbuhnya.

Suku Hadza, sekelompok pemburu-pengumpul di Tanzania utara, menggunakan peluit melodi untuk memulai kemitraan dengan pemandu madu, sedangkan Suku Yao di Mozambik menggunakan bunyi getar yang diikuti dengan dengusan yang terdengar seperti "brrr-hmm!"

Dengan menggunakan model matematika dan pemutaran audio, Spottiswoode dan rekan penulisnya Brian Wood, seorang antropolog dari Universitas California Los Angeles (UCLA) , mempelajari sinyal-sinyal ini, seberapa bermanfaat sinyal tersebut bagi manusia, dan pengaruhnya terhadap burung.

Mereka menemukan bahwa burung-burung pemandu madu di Tanzania tiga kali lebih mungkin untuk bekerja sama setelah mendengar siulan Suku Hadza dibandingkan dengan seruan Suku Yao yang terdengar “asing”.

Sebaliknya, burung-burung honeyguides di Mozambik hampir dua kali lebih besar kemungkinannya untuk mencari kemitraan setelah mendengar dengusan Suku Yao dibandingkan siulan Suku Hadza.

Para penulis menyebut hal ini sebagai contoh “koevolusi budaya,” dimana manusia di suatu daerah akan lebih sukses jika mereka tetap berpegang pada tradisi lokal, seperti halnya burung-burung di daerah tersebut yang lebih mengenal penghuni di komunitasnya.

Mengenai mengapa perbedaan mencolok tersebut muncul di antara komunitas-komunitas tersebut, pertimbangan praktis mungkin berperan.

Suku Hadza berburu mamalia menggunakan busur dan anak panah, dan menggunakan peluit mirip burung mengurangi kemungkinan menakut-nakuti mangsa lain yang juga mereka incar.

Sementara itu, Suku Yao tidak berburu mamalia dan dengusan mereka mungkin merupakan cara yang baik untuk menakut-nakuti gajah atau kerbau yang tidak ingin mereka kagetkan dalam jarak dekat.

“Tidak hanya di kalangan Suku Hadza, namun dalam budaya berburu di seluruh dunia, masyarakat menggunakan siulan sebagai bentuk komunikasi terenkripsi – untuk berbagi informasi sambil menghindari deteksi oleh mangsa,” kata Wood.

Tradisi yang hampir punah

Bagaimana tepatnya burung honeyguide mempelajari panggilan manusia adalah hal yang perlu dipelajari di masa depan.

Mungkin mereka mengamati dan meniru perilaku burung yang lebih tua, atau mungkin mereka membentuk hubungan positif antara sinyal manusia dan iming-iming ‘hadiah’. Juga tidak diketahui sejauh mana kemitraan ini telah terjalin.

“Nenek moyang kita sebelum Homo sapien memperoleh penguasaan alat-alat api dan batu masing-masing antara 1,5 - 3 juta tahun yang lalu, sehingga masuk akal jika hubungan ini benar-benar kuno," kata Spottiswoode.

Baru setelah sebuah penelitian penting yang diterbitkan pada tahun 1989, dunia ilmiah yakin bahwa hubungan antara burung honeyguide dan pemburu madu itu nyata, bukan sekadar cerita rakyat atau takhayul.

Namun praktik ini perlahan-lahan mulai punah, sebagian karena perubahan cara masyarakat memperoleh makanan manis, dan sebagian lagi karena masyarakat dilarang berinteraksi dengan satwa ini di taman suaka alam yang dilindungi.

“Burung-burung masih memanggil kita, tapi kita tidak serta merta mengikuti mereka,” kata Spottiswoode.

“Kita harus benar-benar menghargai tempat-tempat yang tersisa di mana hubungan masih tumbuh subur dan budaya antarspesies yang kaya masih ada,” imbuhnya. (M-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Adiyanto
Berita Lainnya