Headline
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.
DUA puluh empat jam sehari serasa tidak cukup. Begitulah yang kerap dikeluhkan orang sekarang ini, terlebih yang tinggal di perkotaan.
Berbagai target kehidupan membuat orang seakan menjalani hidup dengan serbaberlari. Tentunya, memiliki ambisi bukan hal salah, tetapi tidak jarang orang begitu terpaku mengejarnya sehingga melupakan untuk menikmati hidup, termasuk kebahagiaan-kebahagiaan sederhana sehari-hari.
Melawan arus kehidupan yang diburu waktu itulah yang didengungkan lewat konsep slow living. Setelah berawal di Italia di era 1980-an, konsep hidup itu kian diapresiasi sejumlah orang di berbagai negara, termasuk di Indonesia.
Sebab itulah, Kick Andy episode Hidup kok Buru-Buru? yang tayang malam ini pukul 20.30 di Metro TV akan mengupas tuntas konsep kehidupan slow living. Pada kesempatan kali ini, Andy F Noya ditemani psikolog Irma Gustiana Andriani sebagai co-host yang akan memberikan pemahamannya terkait dengan konsep slow living.
"Slow living itu sebuah konsep gaya hidup yang memang membuat hidup itu sebetulnya lebih lambat, tetapi kita tetap bisa produktif. Di sini kita lebih bisa menghargai waktu kemudian memaknai apa yang sedang kita jalani. Lalu, kita bisa lebih menentukan tujuan kita dan menikmati proses. Ini akan bisa mengurangi stres, kecemasan menurun," kata Irma, yang hadir di studio Kick Andy.
Dalam kesempatan yang sama, hadir bintang tamu Ukke Kosasih. Ia rela meninggalkan kehidupannya di kota dan memilih hidup di desa. Ibu satu anak itu mengaku sebelumnya lebih banyak menghabiskan usianya di kota ketimbang di tanah lahirnya, Bandung. Setelah lulus SMA ia harus ke Jakarta karena diterima sebagai mahasiswa Universitas Indonesia. Setelah lulus pun ia bekerja dan berkeluarga di kota hingga usianya 50 tahun.
Keinginan untuk memberikan rasa optimistis pada anak mendorong Ukke dan suami untuk mencari gaya hidup yang tepat pada keluarganya. "Ada satu trigger yang datang kebetulan dari anak. Anak kami bilangnya generasi ayah ibu ini generasi yang eksploitatif, yang dianggap merusak alam. Itu padahal dia baru SMP, dia selalu menampilkan kata-kata yang pesimistis tentang masa depan, 'Jadi, kayaknya nanti enggak ada air, deh, Bu'. Jadi, kita pikir, waduh, bahaya juga," kata Ukke.
Ukke lalu memahami bahwa tidak jarang manusia sulit menakar rasa cukup sehingga yang terjadi ialah tidak bisa membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Demi memiliki hidup yang lebih bermakna, ia bertekad menjalani slow living dan mempersiapkan diri selama empat tahun sebelum kemudian pindah ke desa. “Jadi, pindah ke desa adalah strategi untuk mencapai bahagia," kenang Ukke.
Tahun 2016 menjadi tahun yang tepat bagi Ukke bersama suami dan anak semata wayangnya untuk pindah dari Bintaro ke Kampung Panyandaan, Cisarua, Bandung Barat. Ia juga harus merelakan karier dan sang anak tidak melanjutkan ke sekolah formal walaupun saat itu baru masuk SMA. Mereka sekeluarga juga mengikuti konferensi tentang revitalisasi desa untuk memiliki pemahaman yang tepat.
"Saya ada kebun dan belajar masak. Belajar masak itu survival skill. Suami saya lebih kepada perbaikan bangunan karena harus terus dirawat, kami hampir 85% (bangunan tempat tinggal mereka) menggunakan barang-barang bekas. Anak, sekarang karena dia udah selesai kuliahnya dan milih untuk membantu kami, dulu itu dia (ikut) kegiatan kami," papar Ukke yang kini telah cukup dikenal lewat konsep hidup slow living itu.
Bahkan usaha edukasi slow living sekaligus staycation yang dimilikinya, Kabin Kebun, telah laris. Akun Kabinkebun pun memiliki lebih dari 24 ribu pengikut di Instagram.
Ukke kini mengaku sudah bisa bahagia hanya dengan hal-hal sederhana. "Kesuksesan saya sebagai berkebun di kami (ialah) sudah datang lima jenis lebih. Itu aja udah bahagia banget. Aku lebih cepat bahagia, lihat lebah aja bahagia, terus lihat burung menetas bahagia," katanya.
Di samping berlimpah kebahagiaan itu, menurutnya, pembeda utama antara kehidupan sebelumnya dan slow living ialah soal memahami apa yang dikerjakan. "Sebetulnya slow living yang kami jalankan adalah bagaimana kita berusaha untuk tahu persis apa yang kita kerjakan dan mengambil kontrol terhadap itu," tukasnya.
Edukasi
Setelah memilih tinggal di gunung, di ketinggian 1.160 mdpl, Ukke membuat Kabin Kebun yang ditawarkannya untuk mengajak masyarakat belajar mengenai hidup dengan konsep slow living. Hal yang dilakukan ketika menginap di Kabin Kebun selain berkebun ialah menerapkan hidup minim sampah. Ukke telah menerapkan pengomposan dan menghasilkan eco enzyme.
Tidak hanya Kabin Kebun yang memakai barang-barang daur ulang, rumahnya pun sebagian besar dibangun menggunakan material bekas. Sejak 2019, sudah lebih dari seribu orang yang mencicipi nikmatnya hidup slow living di setiap akhir pekan. Sampai April, Kabin Kebun sudah penuh reservasinya.
Ukke mengatakan gaya hidup slow living bisa diterapkan di mana saja. "Setelah saya pindah ke desa dan melakukan slow living itu, (saya baru sadari) sebenarnya slow living itu bisa diterapkan di mana saja. Makanya saya selalu bilang bahwa pindah ke desa itu strategi, bukan tujuan," ucapnya.
"Gaya hidup ini kembali ke konsep berpikir. Jadi, intinya siapa pun di mana pun dan usia berapa pun ketika dia sudah memilih ini menjadi gaya hidup, dia sangat mungkin untuk bisa menjalankannya lebih lambat, tetapi dia menikmati dan tetap produktif," Irma menanggapi. (M-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved