Headline

Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.

Fokus

Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.

Demi Mbrecew dan Duo Anggi

Abdillah Marzuqi
18/11/2018 06:00
Demi Mbrecew dan Duo Anggi
MI(MI)

MATAHARI masih belum tampak, kami sudah harus bersiap. Mata masih enggan terbuka sempurna, masih ingin rasanya beradu dengan bantal dan kasur. Namun, rasa penasaran mengalahkan rasa kantuk itu. Mau tidak mau, demi sang burung pintar.

Perbedaan zona waktu sedikit banyak memang berpengaruh, apalagi jika terbiasa dengan zona waktu Indonesia bagian barat. Selisih dua jam menjadikan tubuh seolah masih berada di waktu malam. Tapi harus tahan, sekali lagi, demi sang burung pintar.

Perjalanan panjang dimulai. Mobil berpenggerak ganda mengantar rombongan wartawan di sela acara International Conference on Biodiversity, Ecotourism, and Creative Economy 2018 (ICBE) di Manokwari, Papua Barat, pada awal Oktober silam. Pada hari ketiga, rombongan melakukan kunjungan lapangan.

Perjalanan ke tempat burung pintar di Kampung Kwau memakan waktu sekitar tiga jam dari Manokwari. Kami harus berjalan sekitar 400 meter masuk hutan untuk mendapati sarang burung itu. Sepanjang jalan setapak, terdapat bunga-bunga yang sengaja ditanam untuk menambah asri suasana Papua Lorikeet. Terdapat beberapa rumah kayu yang difungsikan sebagai penginapan. Memang di situ termasuk kawasan ekowisata dengan aktivitas utama bird watching.

Menikmati burung memang sudah seharusnya di alam liar, bukan di kandang, apalagi sangkar. Jika ingin bertemu dengan burung, sudah seharusnya datangi ke habitatnya.

Setelah sebentar berjalan dengan lintasan yang lumayan terjal, tampaklah sarang sang smart bird, alias namdur polos, alias Mbrecew

begitu masyarakat lokal menyebutnya. Smart Birds ternyata sedang tidak ada. Ia baru keluar sarang. Ia memang beraktivitas pada siang hari.

Sarang itu hanya untuk istirat malam hari. Jangan dikira sarangnya bertengger di atas pohon, justru sarang itu menapak permukaan tanah. Bentuknya pun seperti gubuk setengah lingkaran. Mirip tenda doom mini.

Rasa penasaran saya langsung terjawab ketika melihat sarang smart birds.

Tidak seperti sarang burung lain, yang acap kali terlihat awut-awutan, sarang smart birds lebih mirip seperti rumah megah dengan halaman luas tertata. Dengan ukuran lebih kecil tentunya. Yang membuat takjub lagi ialah tumpukan benda berwarna-warni yang berada di depan sarang. Mirip sepeti susunan batu taman. Potongan plastik padat itu berkelompok berdasarkan warna.

Ternyata itulah yang membuatnya disebut smart bird. Ia mampu mengenali warna pada benda lalu menggelompokkannya. Awalnya, muncul pertanyaan siapa yang mengajari atau siapa yang membuatkan sarang dan menatanya. Ternyata sarang itu alami. Tidak ada yang mengajari, karena burung itu masih liar di alam bebas. Pesannya sederhana, burung saja bisa rapi, apalagi manusia.

Duo Anggi

Puas ditakjubkan smart birds, perjalanan dilanjutkan menuju Pegunungan Arfak. Awalnya, sempat tebersit pertanyaan menggapa harus memakai mobil berpenggerak ganda, padahal kondisi jalanan baik-baik saja. Pertanyaan itu terjawab juga akhirnya. Lepas dari Kwau, kondisi jalanan berubah total. Jalan tanah dengan batu-batu besar dan sungai-sungai deras yang harus diseberangi menjadi situasi yang dihadapi ketika menuju danau Anggi. Bahkan, beberapa kali perjalanan terhenti akibat perbaikan dan pelebaran jalan. Itupun memakan waktu yang cukup lama.

Pegunungan Arfak terasa seperti area bertualang yang tidak habis memacu takjub. Kabupaten Pegunungan Arfak menyimpan beragam potensi wisata alam, mulai danau, pengamatan burung, kupu-kupu, hingga satwa endemik.

Di Pegunungan Arfak terdapat dua danau besar, yakni Anggi Giji dan Anggi Gida. Keduanya terletak di kawasan cagar alam Pegunungan Arfak dan berada di ketinggian sekitar 2.000 meter di atas permukaan laut. Oleh karenanya, udara cukup dingin meski siang hari.

Hamparan rerumputan di bukit-bukit Pegunungan Arfak yang menguning ialah salah satu yang bisa dinikmati. Tentunya, berikut pemandangan danau-danau yang menjadi sajian utama untuk memanjakan mata dan raga wisatawan. Dari bukit itulah spot terbaik untuk menikmati pemandangan danau (anggi).

Dari atas bukit, terlihat jelas perbedaan kedua danau. Anggi Giji maupun Gida memiliki air yang cukup tenang, tapi warna mereka berbeda. Anggi Giji memiliki air yang berwarna kehitaman, sedangkan Gida memiliki air berwarna biru terang.

Kedua danau itu juga punya cerita. Masyarakat setempat menganggap Anggi Giji sebagai danau laki-laki dan Anggi Gida sebagai danau perempuan.

Anggapan itu juga mempunyai landasan. Berdasarkan cerita lokal, dahulu, terdapat sepasang anak manusia yang tinggal di Pegunungan Arfak. Mereka hidup berdua dan memadu cinta, tetapi cinta mereka tidak membuat mereka bersatu. Saking dahsyatnya kekuatan cinta mereka, akhirnya menjadi dua buah danau besar yang ada sampai sekarang.

Legenda lain menyebut sepasang kekasih yang putus asa karena tidak menemukan hewan buruan. Mereka lalu berjumpa ular besar dan memotongnya, namun selalu menyambung lagi. Ternyata, ular itu ialah hewan keramat.

Mereka pun ketakutan dan berlari berlawanan arah. Mereka turun ke lembah dan tewas tersambar petir. Kemudian, tempat itu terisi air karena berada di cekungan. Lalu, jadilah Anggi Giji dan Gida. Cerita lain juga menyebut danau tersebut masing-masing ditinggali seekor naga jantan dan betina.

Perjalanan panjang dari Manokwari hingga Kabupaten Pegunungan Arfak memang cukup melelahkan. Medan berat yang hanya bisa dilewati mobil 4X4. Namun, ketika sampai di danau, semua lelah perjalanan itu akan terobati dengan keagungan alam sekitar danau yang begitu menakjubkan.

Perjalanan pulang yang memakan waktu sekitar 6 jam kembali menjadi tantangan tersendiri. Ketika itu kabut sudah turun. Jarak pandang hanya 1 meter meski dibantu dengan penerangan mobil. Apalagi, kondisi jalan pun licin akibat hujan, dengan jurang di kiri-kanan. Namun, pengalaman itu menjadi jejak yang tak terlupakan. Tak akan kapok untuk ke Pegunungan Arfak lagi, demi burung dan anggi. (M-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Zen
Berita Lainnya