Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Kumpulan Berita DPR RI
SURAT yang ditemukan tergeletak di depan pagar rumahnya pekan lalu membuat Kika Syafii, 39, kaget dan sedih. Penyebabnya karena isi surat itu ialah umpatan dan ejekan terhadap anaknya, Alia, yang baru berusia 10 tahun.
Dalam surat itu Alia dituding sebagai pemeluk agama yang tidak taat lantaran mendukung calon gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Alia memang belum memiliki hak untuk memilih paslon Gubernur DKI Jakarta. Namun, keributan akibat pilkada rupanya berimbas dalam perbincangan di sekolahnya.
Kepada <>Media Indonesia, Kika yang masih memiliki KTP Jakarta meski kini berdomisili di Pekayon, Bekasi Selatan, tersebut merasa sebetulnya selama ini tidak banyak membahas politik di rumah bersama istri, apalagi dengan anak.
"Alia hanya sesekali bertanya apa itu pilkada dan siapa itu Ahok. Saya pun tidak pernah mendorong Alia untuk memilih ini-itu," ungkap Kika, kemarin (Kamis, 30/3).
Dalam blog pribadinya yang ditulis pada Kamis (23/3), Kika dan keluarganya mengaku sering berdiskusi tentang Ahok lebih karena prestasi kerja yang mereka rasakan.
"Seperti contoh kecil, membuat KTP atau surat domisili hanya lima menit dan tanpa pungli sama sekali. Saya tekankan pada anak-anak untuk memahami dan mengerti hasil kerja orang. Suka atau tidak suka terhadap orang tersebut, kita harus belajar jujur untuk menilai hasil kerjanya," tulis Kika.
Kika mengatakan Alia sempat membalas surat tersebut. 'Aku tidak seperti yang kamu pikirkan', demikian tulis Alia kepada sang pengirim surat yang diketahui sebagai teman sepermainannya di luar sekolah. Namun, niat Alia tersebut dibalas cercaan dalam bentuk surat kembali.
Dalam menanggapi hal itu, Kika selaku orangtua mengatakan tidak akan melapor kepada Satgas Perlindungan anak ataupun Komisi Perlindungan Anak-Anak. Ia mengatakan kondisi anaknya saat ini juga masih baik-baik saja.
"Bagi saya, permasalahan ini harus fokus ke orangtuanya karena anak seperti sebuah kanvas kosong. Tapi, saya tidak punya kompetensi untuk mengingatkan, apalagi menegur orangtua pelaku. Jadi, saya memilih menguatkan anak saya saja," imbuh Kika.
Di sisi lain, Koordinator Satgas Perlindungan Anak Ilma Sovri Yanti Ilyas mengatakan orangtua yang melibatkan anak-anak dalam politik telah melanggar Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 dan UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
UU Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 15 huruf (a), misalnya, menyatakan setiap anak berhak atas perlindungan dari penyalahgunaan kegiatan politik.
Ilma menyebut anak-anak tentu berbeda dari orang dewasa dalam hal penerimaan pesan. Anak-anak masih memiliki keterbatasan dalam pengalaman berinteraksi sosial. Mereka juga belum matang dalam menimbang sesuatu dan masih mencari sosok figur sebagai teladan.
"Anak-anak tidak tahu bahwa pilkada hanya sesaat. Intoleransi yang disebabkan pemberian pemahaman yang direspons dengan tidak sempurna menyebabkan agresivitas anak meningkat," kata Ilma.
Ilma menambahkan, anak masih sulit membedakan imajinasi dan fakta sosial, termasuk materi kampanye.
Dikhawatirkan, anak akan melihat atau menganggap sebuah ketidakbenaran menjadi kebenaran jika dihadapkan dengan kompetisi politik tanpa penyaringan, penjelasan, dan pendampingan.
"Pelibatan anak dalam politik telah melahirkan anak-anak yang memiliki stereotyping dan sikap agresif terhadap orang-orang yang berbeda (pilihan politik) dengannya," tegas Ilma.(Aya/X-11)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved