Hakim Alergi Jatuhkan Vonis Tinggi

VONIS rendah terhadap terdakwa korupsi masih menghiasi dunia peradilan Indonesia. Berdasarkan hasil pemantauan Indonesia Corruption Watch (ICW) sepanjang 2016, rata-rata vonis yang diterima terdakwa korupsi hanya 2 tahun 2 bulan.

Hakim terkesan alergi menjatuhkan vonis tinggi sehingga mengaburkan tujuan yang ingin dicapai, yakni menjerakan koruptor. Tren vonis rendah tersebut konsisten sejak 2013 hingga 2016.

Dari 573 putusan yang dipantau ICW yang tersebar di pengadilan tingkat pertama (420 putusan), tingkat pengadilan tinggi (121 putusan), dan tingkat kasasi/MA (32 putusan), ICW melihat vonis yang diterima masih rendah.

Di tingkat pertama, misalnya, rata-rata vonis hanya 1 tahun 11 bulan, di tingkat banding hanya 2 tahun 6 bulan, dan di tingkat kasasi 4 tahun 1 bulan.

“Kondisinya tidak pernah berubah sejak 2013, persoalan vonis ringan selalu terjadi setiap tahun. Jumlah terdakwa yang dihukum dalam kategori hukuman ringan (0-4 tahun) sangat banyak jumlahnya jika dibandingkan dengan kategori hukuman sedang (4-10 tahun) dan berat (di atas 10 tahun),” ujar peneliti ICW Bidang Hukum dan Monitoring Peradilan ICW Aradila Caesar saat memberi keterangan di Kantor ICW Jakarta, akhir pekan lalu.

Bahkan, jumlah terdakwa yang dijatuhi hukuman kurang dari 1-1,5 tahun pada 2016 semakin banyak ketimbang tahun-tahun sebelumnya. Pada 2013, terdakwa yang dihukum rentang 1-1,5 tahun sebanyak 180 terdakwa, 2014 sebanyak 162 terdakwa, 2015 sebanyak 224 terdakwa, dan 2016 mencapai 237 terdakwa.

“Hakim cenderung menjatuhkan hukuman minimum yang terdapat pada pasal 2 (minimal 4 tahun) dan pasal 3 (minimal 1 tahun),” tukasnya.

Aradila juga menyoroti rendahnya tuntutan jaksa yang juga ikut berkontribusi terhadap rendahnya vonis hakim. Kebiasaan selama ini, meski tidak ada dalam aturan, hakim cenderung memvonis 2/3 dari tuntutan. Sepanjang 2016, ICW mencatat jaksa menuntut ringan terhadap 321 terdakwa dengan 124 terdakwa hanya dituntut 1-1,5 tahun. (Nyu/P-5)