Headline
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.
KRITIK atau serangan individu terhadap pejabat negara semestinya tidak lagi masuk mekanisme pidana, melainkan perdata. Ini alasannya.
Dosen Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) Eko Riyadi mengatakan di negara-negara yang sudah cukup modern sebenarnya menghindari penggunaan mekanisme pidana untuk mengadili kasus serangan terhadap individu, tetapi lebih banyak menggunakan mekanisme perdata. Menurut dia, sudah saatnya Indonesia menghindari penggunaan pasal pidana untuk kasus tersebut.
“Saya berpikir, ngapain negara harus capek-capek, negara harus mengeluarkan biaya yang cukup besar dalam proses peradilan untuk membela hak personal yang sebenarnya seharusnya menjadi bagian dari ruang privat yang bisa diajukan ke pengadilan perdata dalam konteks untuk membuktikan kerugian yang diderita atas serangan itu,” ujar Eko yang dihadirkan sebagai Ahli Pemohon dalam sidang lanjutan pengujian sejumlah ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) di Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (31/1).
Baca juga : MK Tolak Permohonan Uji Materil UU KUHP dan UU ITE
Terkait Hak Asasi Manusia, kata dia, yang tidak dibolehkan dalam HAM ada dua yaitu ujaran kebencian (hate speech) dan propaganda perang. Sementara kritik, sudah jelas disebut dalam Pasal 19 International Covenant on Civil and Political Rights bahwa kritik terhadap pejabat adalah bagian dari kebebasan berekspresi.
“Bagaimana membedakannya? Sepanjang yang dikritik itu adalah kebijakan-kebijakannya termasuk perilakunya sebagai pejabat, maka itu adalah posisi dia dan konsekuensinya sebagai pejabat publik, tetapi ketika yang direndahkan itu adalah pribadinya bukan sebagai pejabat publik dan tidak ada hubungannya dengan pejabat publik maka itu kita kualifikasikan sebagai menyerang pribadi,” jelas Eko.
Dia menambahkan, salah satu instrumen untuk menguji hak dan kepentingan adalah dengan menggunakan data empirik yang mampu menjelaskan reliabilitas empirik dari kerugian yang telah terjadi.
Baca juga : Ditahan, Panji Gumilang Dijerat dengan UU KUHP, UU ITE dan UU Hukum Pidana
Reliablitas data-data empirik dapat dilihat dari data tentang penggunaan Undang-Undang ITE, khususnya Pasal 310 ayat (1) KUHP, Pasal 27 ayat (3) UU ITE, Pasal 45 ayat (3) menjadi penting untuk dijadikan dasar hukum. Dia beragumentasi, MK tidak hanya mengadili norma tetapi juga menguji perkara rill atau empirik dalam kaitannya dengan norma tertentu.
Sementara itu, Dosen Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yance Arizona yang juga menjadi ahli yang dihadirkan Pemohon dalam Perkara Nomor 78/PUU-XXI/2023 mengatakan, norma KUHP dan UU ITE yang dimohonkan Pemohon memiliki ketegangan dengan norma perlindungan HAM yang termuat dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
“Tidak dapat dipungkiri bahwa ketentuan norma KUHP dan juga Undang-Undang ITE yang dimohonkan oleh Pemohon memiliki ketegangan dengan norma perlindungan hak asasi manusia satu sama lain,” ujar Yance.
Baca juga : Dinilai Terlalu Dini, MK Tolak Permohonan Pengujian UU KUHP
Yance menuturkan, sering kali MK dan Pemerintah akan meninjau pertentangan norma tersebut menggunakan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 sebagai tolak ukurnya. Permasalahannya adalah prinsip-prinsip pembatasan dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 tidak pernah mendapatkan penjelasan yang spesifik.
Menurut Yance, terdapat lima prinsip atau tolak ukur yang terdapat dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yaitu menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain, pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Dengan demikian, dibutuhkan penjelasan yang lebih spesifik untuk menilai bagaimana pembatasan suatu hak telah sesuai dengan lima prinsip atau tolak ukur tersebut.
Adalun, Keterangan Yance Arizona dan Eko Riyadi selaku ahli Pemohon tersebut disampaikan dalam sidang Perkara Nomor 78/PUU-XXI/2023 terkait pengujian materiil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana juncto Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan beberapa Pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana bertalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang-Undangan Pidana, Kejahatan Penerbangan, dan Kejahatan terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan juncto Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab-Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang Berkaitan dengan Kejahatan terhadap Keamanan Negara; KUHP.
Baca juga : Sidang MK: Pasal Karet dalam UU ITE Bikin Resah Masyarakat
Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pasal yang diuji, yakni Pasal 14 dan Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946, Pasal 310 ayat (1) KUHP, serta Pasal 27 ayat (3) juncto Pasal 45 ayat (3) UU ITE. Dalam petitumnya, para Pemohon meminta MK, menyatakan pasal-pasal di atas bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Para Pemohon perkara ini ialah aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Haris Azhar, Fatiah Maulidiyanty, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), serta Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Pengujian UU ini berkaitan dengan kasus pencemaran nama baik Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan yang melibatkan Haris Azhar dan Fatiah Maulidiyanti. Bahkan dalam provisinya, para Pemohon meminta MK memerintahkan Pengadilan Negeri Jakarta Timur untuk menghentikan dan menunda pemeriksaan perkara nomor 202/Pid.Sus/2023/PN Jkt.Tim dan nomor 203/Pid.Sus/2023/PN Jkt.Tim sampai adanya putusan perkara ini.(Z-4)
Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan bahwa hakim konstitusi Anwar Usman tidak akan terlibat dalam pemeriksaan maupun pengambilan keputusan perkara uji materi syarat usia calon kepala daerah.
Dua orang mahasiswa pemohon perkara uji materi syarat usia calon kepala daerah meminta hakim konstitusi Anwar Usman tidak diikutsertakan dalam pemeriksaan maupun pengambilan keputusan
Pemohon uji materi syarat usia calon kepala daerah di Mahkamah Konstitusi (MK) meminta agar perkara apat diputus sebelum pendaftaran calon kepala daerah pada 27 Agustus mendatang.
HAKIM Konstitusi Anwar Usman disarankan tidak ikut dalam tiap tahapan sidang uji materi terkait syarat usia calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah.
Dua mahasiswa meminta agar beleid larangan kampanye dibuat juga untuk presiden, wakil presiden dan menteri/wakil menteri serta kepala badan/lembaga negara.
PERATURAN Komisi Pemilihan Umum (PKPU) 8/2024 yang telah mengubah syarat usia minimum calon kepala daerah berpotensi diuji-materikan ke Mahkamah Agung (MA)
Menko PMK Muhadjir Effendy menegaskan bantuan sosial (bansos) bisa diberikan pada keluarga penjudi online, tetapi bukan pada pelakunya
Sukamta menyatakan bahwa pemerintah baru-baru ini mulai mengambil tindakan terhadap praktik ilegal ini.
MANTAN Rektor Universita Tadulako (Untad) Palu, Sulawesi Tengah, Basir Cyio divonis enam bulan kurungan penjara seusai menjalani sidang pelanggaran UU ITE
WACANA penyadapan oleh Polri yang termuat dalam revisi Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri dinilai mengkhawatirkan mengusik hak privasi masyarakat.
Polisi mengungkap identitas pria berinisial AP, 29 tahun, yang mengancam dan memeras uang sebesar Rp300 juta dari artis Ria Ricis. Ternyata, AP adalah mantan sekuritinya.
Kemen PPPA akan terus mendampingi dan mengawal proses hukum kasus AP, perempuan yang berhadapan dengan hukum sekaligus tersangka kasus pelanggaran UU ITE yang menjadi korban KDRT.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved