Headline

Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.

Fokus

Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.

Pemberitaan Harus Tetap Jaga Prinsip Hukum dan Etika Jurnalistik

Media Indonesia
25/1/2021 22:50
Pemberitaan Harus Tetap Jaga Prinsip Hukum dan Etika Jurnalistik
Pakar hukum Indriyanto Seno Adji(dok/pribadi)

PEMBERITAAN pada media arus utama sebagai tonggak kebebasan pers seharusnya tetap menjaga adanya karakter yang fair and accurate. "Hindari adanya stigmatis yang pre-judicial, mengarah pada kesalahan seseorang sebelum adanya putusan pengadilan," ungkap pakar hukum  Indriyanto Seno Adji, Senin (25/1).

Ia mencontohkan kasus Bancakan Bansos Banteng di sebuah majalah terkemuka. "Walaupun masih diperdebatkan, sebaiknya tetap menjaga prinsip-prinsip hukum dan etika, khususnya dalam menilai dampak pemberitaannya," jelasnya.

Indriyanto melanjutkan bahwa terlihat bahwa pemberitaan di beberapa media lainnya  mengenai obyek yang sama terlihat lebih menjaga etika jurnalistiknya  secara akuntabel dan profesional.

"Pola pemberitaan pre-judice yang pre-judicial itu justru mengarah pada obstruction of justice. Apalagi bila kebebasan pers ini disalahgunakan bagi vested maupun political interest bahkan sebagai alat penekan dari konsinyasi politik dan ekonomi," tambah Pengajar Program Pascasajana Studi Ilmu Hukum Universitas Indonesia (UI) itu.

Menurutnya, media sebagai kekuatan mediator sosial harus berposisi adil dan berimbang dalam pemberitaan. Substansi pemberitaan juga selalu mengutamakan cover both sides.

"Dan meskipun kewajiban media telah melakukan komunikasi cover both sides, tapi jika substansi pemberitaan tetap prejudice, maka harus dianggap sebagai pelanggaran hukum dan etika pemberitaan, meski menjadi polemik sebagai suatu kewajaran," tegasnya.

Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Krinadwipayana ini juga menegaskan, pemberian hak jawab  dalam media tidaklah diartikan bahwa tidak adanya pelanggaran hukum dan etika atas substansi pemberitaan. Sebaiknya pemberitaan menghindari adanya pembentukan misleading opinion kepada publik yang justru dapat merugikan perlindungan hak asasi seseorang.

Hak tolak pers sebagai previlege rights, lanjut dia, seharusnya tidak disalahgunakan oleh pers untuk melakukan actual malice yang meragukan motif dari orang yang menjadi korban pemberitaannya. Itu merupakan bentuk abuse secara hukum dan etika.

Dia mengungkapkan bahwa media tetap terikat untuk tidak melanggar right to distort (mengacaukan) pemberitaan yang substansinya membentuk misleading opinion bahwa seolah seseorang bertanggung jawab secara hukum.

"Pengabaian right of distort adalah bentuk pelanggaran etik dan hukum. Kebebasan tidak bisa dan tidak akan pernah dimaknai secara absolut tanpa batas, dan kebebasan absolut tanpa batas inilah bentuk dari pelanggaran etika dan hukum," pungkasnya. (N-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : NUSANTARA
Berita Lainnya