Regulasi tidak akan Menekan Aksi Teror

RENCANA pemerintah untuk mengubah materi UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Terorisme melalui pembentukan panitia khusus di DPR patut diapresiasi.

Namun, upaya penguatan regulasi itu dipastikan tidak akan menangkal adanya aksi teror.

Menurut pengamat militer dan ketahanan, Kusnanto Anggoro, Indonesia termasuk dalam salah satu negara triangle teroris, selain Filipina dan Malaysia.

Guna mencegah berkembangnya ancaman dan penggunaan kekerasan dari kelompok tertentu itu, lanjutnya, pemerintah perlu membuat sebuah kekuatan hukum yang dapat membedakan antara otoritas negara dan kepentingan masyarakat.

Selain itu, pemerintah wajib menyeragamkan definisi teroris dan bentuk ancamannya.

Sejauh ini di kalangan elite masih terlihat perbedaan pandangan terkait tindakan yang patut dilakukan dalam menanggapi isu terorisme dan deradikalisasi.

Itu sebabnya, menurut peneliti Formappi Tommy Legowo, wakil rakyat yang bertugas memantapkan revisi UU 15/2003 itu tidak boleh bersilang pendapat.

Pasalnya, perspektif dalam proses legislasi merupakan hal teknis yang mungkin bisa terkendala jika tidak dilaksanakan dengan baik.

Ia menjelaskan semua pihak wajib memiliki political will yang sama, dan sayangnya hingga saat ini sikap tersebut baru ditunjukkan oleh pemerintah saja.

Peneliti dari National University of Singapore, Bilveer Singh, justru menilai revisi tersebut terkesan sebagai tindakan reaktif yang diperagakkan pemerintah Indonesia dan bukan sebagai tindakan preventif.

Namun, apa pun itu, Indonesia kini justru tengah menjadi rujukan dunia soal pemberantasan terorisme.

"Kita bisa menyelesaikan persoalan teror di Thamrin dalam waktu yang singkat. Kita dijadikan role model untuk itu. Bahkan ketika pertemuan ASEAN dan Amerika Serikat, Presiden Jokowi mendapatkan ruang yang cukup banyak menyampaikan ini."