Headline

Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.

Fokus

Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.

Ambang Batas Capres Picu Polarisasi

Putri Rosmalia Octaviyani
21/6/2019 08:35
Ambang Batas Capres Picu Polarisasi
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Satya Arinanto (kanan) bersama peneliti senior LIPI Syamsuddin Haris (tengah) dan moderator(MI/M IRFAN)

MESKI berjalan lancar, damai, dan demokratis, pelaksanaan pemilu serentak dianggap masih memerlukan banyak evaluasi, baik dari sisi teknis pelaksanaan maupun aturan mendasar.

Pengamat politik LIPI, Samsyuddin Haris, mengatakan salah satu yang harus jadi perhatian ialah perihal ambang batas pencalonan presiden. Berdasarkan aturan yang berlaku saat ini, capres dan cawapres diajukan partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki minimal 20% kursi dan parlemen atau 25% suara sah yang diraih dalam pemilu sebelumnya (2014).

Hal itu dianggap tidak relevan untuk diterapkan dalam sistem presidensial. "Apabila ada kekhawatiran munculnya banyak capres, syarat ambang batas bisa diberlakukan dengan basis jumlah parpol koalisi pengusung, bukan hasil pemilu DPR," ujar Samsyuddin dalam focus group discussion yang digelar Fraksi NasDem DPR, di gedung palemen, Jakarta, kemarin.

Ia menjelaskan bahwa ambang batas juga menjadi salah satu penyebab terjadinya polarisasi di masyarakat. Pasalnya, partai-partai membangun koalisi sejak awal proses pemilu sehingga membuat masyarakat cenderung terbelah. "Polarisasi itu bisa dihilangkan, salah satunya dengan meniadakan ambang batas pencalonan presiden," tegas Syamsuddin.

Pandangan senada dilontarkan Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indikator, Burhanuddin Muhtadi. Menurutnya, ambang batas membuat minimnya pilihan bagi masyarakat. Hasilnya, polarisasi menjadi sangat terasa. Hal itu dibuktikan dengan berbagai peristiwa sebelum dan pasca-Pemilu Serentak 2019. "Karena hanya sedikit kandidatnya, di 2019 hanya dua, jadi masyarakat sangat terbelah, politik identitas mendominasi," ujar Burhan.

Sistem pemilu presiden dua putaran juga harus dihapuskan. Bila tetap ada, akhirnya tetap menciptakan polarisasi di pemilu putaran kedua.

Perlu evaluasi

Sementara itu, Wakil Ketua Fraksi NasDem DPR, Zulfan Lindan, mengatakan evaluasi memang perlu dilakukan pada pelaksanaan pemilu serentak. Tujuan pelaksanaan pemilu serentak untuk penghematan waktu dan biaya dianggap tidak berhasil.

"Pemilu serentak dilakukan karena MK mengabulkan permintaan Koalisi Masyarakat untuk Pemilu Serentak. Alasan mereka sederhana, penyelenggaraan pemilu serentak lebih efisien, baik dari segi waktu maupun biaya," ujar Zulfan.

Namun, fakta justru menunjukkan sebaliknya. Biaya pelaksanaan pemilu serentak lebih mahal daripada Pemilu 2014. Alokasi anggaran Pemilu 2019 berdasarkan data KPU sebesar Rp24,8 triliun. Bertambah Rp700 miliar dibandingkan Pemilu 2014.

Ia mengatakan pelaksanaan pemilu serentak juga masih marak akan politik uang dan palanggaran. Khususnya, pada pelaksanaan pemilu legislatif.

Fraksi NasDem, imbuhnya, akan terus memberikan masukan untuk evaluasi pelaksanaan pemilu yang akan datang. Pemetaan masalah akan dilakukan dengan penuh kehati-hatian sebagai rekomendasi untuk pemilu berikutnya.

Pada Oktober 2018, MK menolak seluruh gugatan terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Seluruh gugatan tersebut terkait Pasal 222 yang mengatur ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold. (P-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Kardashian
Berita Lainnya