Headline
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.
MAHKAMAH Agung (MA) menolak permohonan kasasi yang diajukan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) terkait pencabutan status badan hukum organisasi oleh pemerintah.
Dengan demikian, surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor AHU-30.AH.01.08 Tahun 2017 tentang Pencabutan Status Badan Hukum HTI tetap berlaku.
Juru bicara MA, Andi Samsan Nganro, mengatakan institusinya telah menerbitkan putusan atas kasasi yang diajukan HTI, Kamis (14/2). Majelis hakim MA yang menyidangkan perkara, yakni Sudaryono, Hary Djatmiko, dan Supandi sepakat menolak kasasi yang diajukan HTI tersebut.
“Iya, kami menolak kasasi, tetapi alasan penolakan itu sepenuhnya keputusan majelis hakim. Saya belum berkomunikasi lagi untuk menanyakan apa alasan penolakan itu,” kata Andi Samsan kepada Media Indonesia kemarin.
Menurut Andi Samsan, putusan MA sudah seharusnya diterima oleh pemohon dan masyarakat. Dia mengakui tidak perlu mengimbau masyarakat agar dapat menerima putusan MA tersebut.
“Ini sudah keputusan MA. Jadi, secara hukum memang harus diikuti,” ujar Andi Samsan.
Dalam menanggapi putusan MA, juru bicara HTI, Ismail Yusanto, mengaku pihaknya tidak terkejut. Meskipun demikian, HTI tidak akan tinggal diam menyikapi putusan mahkamah tersebut.
“Kami segera berkonsultasi dengan kuasa hukum. Masih ada upaya pe ninjauan kembali (PK). Kami mungkin akan mengajukan PK bila ada novum (bukti baru),” ungkap Ismail.
Tidak bertentangan
Sebelumnya, Rabu (19/9/2018), Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) Jakarta sudah menolak permohonan banding HTI.
“Menguatkan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 211/G/2017/PTUN-JKT, tanggal 7 Mei 2018 yang dimohonkan banding dengan tambahan pertimbangan hukum,” kata majelis hakim PT TUN Jakarta seperti dikutip dari laman http://pttun-jakarta.go.id, Rabu (26/9/2018).
Putusan yang diketuk pada 19 September 2018 itu diambil majelis hakim yang terdiri atas Kadar Slamet, Djoko Dwi Hartono, dan Slamet Supartono.
Dalam pertimbangan, majelis menyatakan fakta hasil pembuktian HTI terbukti mengembangkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
“Kegiatan-kegiatan menyebarluaskan ajaran atau paham itu yang arah dan jangkauan akhirnya bertujuan mengganti Pancasila, UUD 1945, dan mengubah NKRI menjadi negara khilafah,” kata majelis dalam pertimbangannya.
Majelis juga menyatakan tindakan tergugat/terbanding (Menkum dan HAM) mencabut keputusan sebelumnya tentang Pengesahan Pendirian Badan Hukum HTI tidak bertentangan dengan asas contrarius actus (badan atau pejabat tata usaha negara yang menerbitkan keputusan tata usaha negara dengan sendirinya berwenang membatalkan).
“Tergugat/terbanding berwenang menerbitkan keputusan TUN tentang pengesahan pendirian badan hukum HTI. Atas dasar kewenangan itu tergugat/terbanding berwenang mencabut keputusan a quo atas dasar oleh fakta-fakta pelanggaran sebagaimana telah dipertimbangkan yang dilakukan oleh penggugat/pembanding,” lanjut majelis.
HTI mengajukan banding kepada PT TUN setelah sebelumnya kalah melawan pemerintah di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Dalam putusannya, Senin (7/5/2018), majelis hakim PTUN Jakarta menolak gugatan HTI terhadap Menkum dan HAM. Majelis menilai langkah Menkum dan HAM menerbitkan SK Nomor AHU-30.AH.01.08 Tahun 2017 yang mencabut status badan hukum HTI sudah tepat. (Ant/X-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved