KPK Mesti Perkuat Bukti Korupsi BLBI

Cahya Mulyana
29/4/2017 09:39
KPK Mesti Perkuat Bukti Korupsi BLBI
(Ilustrasi)

PENGUNGKAPAN skandal megakorupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) menuntut KPK melipatgandakan bukti. Pasalnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah menyatakan Surat Keterangan Lunas (SKL) layak diberikan kepada pemegang saham Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI).

"Meski (Kepala BPPN) Syafrudin Arsyad Temenggung sudah ditetapkan sebagai tersangka, KPK perlu memperkuat data karena dari audit BPK pada 2006, berdasarkan pemeriksaan tentang penyelesaian kewajiban pemegang saham (PKPS) atas laporan pelaksanaan tugas BPPN, BPK menyatakan SKL layak diberikan kepada pemegang saham BDNI," terang Direktur Center for Budget Analysis (CBA), Uchok Sky Khadafi, saat dihubungi, Sabtu (29/4).

Uchok menjelaskan, berdasarkan temuan hasil audit BPK itu, pemegang saham telah menyelesaikan seluruh kewajiban yang disepakati dalam perjanjian MSAA dan sudah sesuai dengan kebijakan pemerintah dan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002.

Dia menuturkan penyaluran BLBI diberikan terhadap 48 bank yang terimbas krisis ekonomi yang menelan anggaran Rp144,5 triliun. Dalam catatan KPK dampak penyaluran tersebut negara dirugikan sekitar Rp138 triliun, lantaran pinjaman tersebut bermasalah dan tidak dikembalikan.

Sedangkan yang dimaksud merugikan negara sebesar Rp138 triliun dalam laporan audit BPK yaitu atas penyaluran, penggunaan dan penyelesaian adalah adanya temuan penyimpangan terhadap ketentuan, kelemahan syistem dan kelalaian penyaluran BLBI.

Jadi, kata Uchok, penyimpangan tersebut ditemukan pada saat penyaluran dari BI kepada bank bermasalah. Sedangkan dalam penggunaan dana BLBI oleh para penerima ditemukan penyimpangan sebesar Rp84 triliun.

"Dari audit yang dilakukan oleh BPK, nilai komersial jaminan BLBI hanya sebesar Rp12.34 triliun atau hanya 9.54% dari total BLBI yang di-cessie-kan dari Bank Indonesia kepada pemerintah dalam hal ini BPPN."

Dalam pengungkapan megakorupsi BLBI, lanjut dia, KPK harus mampu membidik penerima BLBI yang tidak kooperatif terhadap BPPN. "Mereka yang tidak mau membuat perjanjian PKPS, seperti Bank Deka, Centris, Aspac, BCD, Dewa Rutji, Arya Panduartha, Dharmala dan Orient," katanya.

Kemudian terdapat bank penerima BLBI yang menandatangani perjanjian PKPS dengan BPPN, namun tidak mau bayar dan tidak menyelesaikan kewajibannya seperti BUN, Modern, PSP, Metropolitan, Bahari, Aken, Intan, Tata dan Servitia. Selain itu, terdapat bank bermasalah yang membuat PKPS dan baru bayar sebagian yaitu Lautan Berlian, BIRA, Namura, Putera Multi Karsa dan Tamara.

Uchok mengingatkan KPK supaya tidak melupakan dalam memburu bank pelat merah yang masuk daftar penikmat BLBI. Sebab nilainya jauh lebih besar, mencapai 400 trilun.

"Penyalurannya seperi apa, penggunaanya seperti apa, sama sekali tidak ketahuan karena BPPN juga tidak menerima mandat untuk menyelesaikan BLBI kepada bank-bank milik negara," tukasnya. (X-12)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ahmad Punto
Berita Lainnya