Headline
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.
SEORANG Tionghoa mengurus KTP di kantor kelurahan. Dia menulis namanya Kasnowo Diponegoro. Petugas kelurahan heran, nama itu terlalu Jawa dan gagah perkasa karena membawa-bawa Diponegoro segala. Orang Jawa tulen saja jarang memakai nama besar pahlawan nasional itu. Takut kualat mungkin. Cuma jalan yang berani pakai nama Diponegoro.
Demi melihat keheranan petugas kelurahan, orang Tionghoa itu menjelaskan namanya singkatan dari bekas cino dadi jowo dipekso negoro (bekas cina jadi Jawa dipaksa negara).
Cerita di atas cuma anekdot. Akan tetapi, ia sarat makna. Anekdot itu sindiran telak atas kebijakan asimilasi negara di zaman Orde Lama yang mengharuskan orang-orang Tionghoa menggunakan nama Indonesia.
Pengusaha kayu Phang Djoe Phen mengubah namanya menjadi Prajogo Pangestu. Pendiri Bank Danamon, Djaw Jaw Wu, mengganti namanya menjadi Usman Admadjaja. Pemilik Grup Sampoerna, Liem Tian Po, bersalin nama menjadi Putera Sampoerna. Liem Sioe Liong lebih kita kenal sebagai Soedono Salim.
Bukannya asimilasi, kebijakan itu lebih merupakan diskriminasi. Sejarah Indonesia sarat dengan torehan diskriminasi terhadap etnis Tionghoa. Selain keharusan menggunakan nama Indonesia, pelarangan perayaan Imlek dan pelarangan pertunjukkan kesenian Barongsai hingga terjegalnya Ahok menjadi Gubernur DKI merupakan beberapa contoh diskriminasi terhadap etnis Tionghoa.
Pun sejarah mencatat orang Tionghoa acap menjadi sasaran kekerasan. Sejak huru-hara anti-Tionghoa pada awal abad ke-20 hingga kerusuhan Mei 1998, kalangan Tionghoa menjadi sasaran kekerasan massa.
Di Yogyakarta orang Tionghoa tidak boleh memiliki tanah. Di satu RW di Surabaya, Jawa Timur, orang Tionghoa hampir saja membayar iuran lebih mahal daripada orang “pribumi”, tetapi, syukurnya, aturan itu tidak sampai diberlakukan.
Penyebab diskriminasi dan kekerasan yang menimpa kalangan Tionghoa ialah kecemburuan ekonomi. Dibentuk opini kalangan Tionghoa menguasai ekonomi Indonesia. Sejumlah kebijakan ekonomi pemerintah sejak masa Presiden Soekarno hingga penghujung masa Presiden Soeharto dijalankan untuk menghadang penguasaan ekonomi oleh kalangan Tionghoa. Padahal, bila bepergian ke Singakawang, Kalimantan Barat, kita masih menjumpai banyak orang Tionghoa miskin.
Penyebab lain, orang Tionghoa dianggap eksklusif. Di Medan, Sumatera Utara, misalnya, rumah orang Tionghoa berpagar tinggi dan rapat. Namun, itu karena orang Tionghoa kerap menjadi sasaran pemerasan berdalih permintaan sumbangan oleh preman berseragam ormas.
Orang Tionghoa di Medan juga dituduh sering bercakap-cakap menggunakan bahasa mereka di ruang publik. Apa bedanya dengan orang Padang yang bercakap-cakap dalam bahasa Minang di pasar-pasar atau orang Batak yang bercakap-cakap dalam bahasa Batak di terminal, misalnya? Kita protes orang Tionghoa bercakap dalam bahasa mereka, sementara kita tenang-tenang saja mendengar orang Minang atau Batak berbicara dalam bahasa mereka karena kita menganggap Tionghoa bukanlah bagian Indonesia, melainkan pendatang.
Penelitian menunjukkan tidak ada orang Indonesia asli. Orang Indonesia pada dasarnya pendatang. Bukan tidak mungkin tubuh kita mengandung DNA Tionghoa. Swastika Noorsabri, pengusaha yang mengaku Jawa tulen, ternyata memiliki ras Tionghoa setelah dites DNA-nya. Gus Dur terus terang mengaku keturunan Tionghoa.
Bila bukan diskriminasi, keharusan orang Tionghoa menggunakan nama Indonesia sekurang-kurangnya merupakan asimilasi yang dipaksakan. Asimilasi semestinya alami. Baju koko atau yang dulu disebut baju kerah Shanghai yang sering dipakai Abdul Somad dan Felix Siauw sebentuk asimilasi alami. Makanan mi atau siomay yang kita sukai juga asimilasi alami. Pun, sebutan Engkong atau Babeh Ridwan Saidi asimilasi alami.
Kebijakan asimilasi yang baik ialah menyerap tradisi atau budaya Tionghoa menjadi bagian Indonesia. Penetapan Konghucu sebagai agama resmi dan Tahun Baru Imlek sebagai hari libur nasional merupakan kebijakan asimilasi yang tepat.
Imlek 2571 tahun 2020 hari ini merupakan tahun tikus logam. Tikus binatang cerdik. Logam melambangkan kekukuhan hati. Akan tetapi, mungkin mereka yang hatinya dipenuhi kebencian, mengartikan tikus binatang licik sehingga orang Tionghoa juga licik. Ampun.
Imlek kali ini semestinya bikin kita melek bahwa Tionghoa bagian Indonesia. Selamat Tahun Baru Imlek 2571.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved