Headline

Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.

Fokus

Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.

Pemberitaan Korupsi

Gaudensius Suhardi Dewan Redaksi Media Group
20/1/2020 08:10
Pemberitaan Korupsi
Gaudensius Suhardi Dewan Redaksi Media Group(MI/Ebet)

PERS itu ibarat anak kecil dalam dongeng yang dikisahkan David C Korten. Alkisah, hiduplah seorang maharaja yang selalu membayangkan dirinya sebagai seorang bangsawan yang berpakai an paling indah. Ia mengadakan sayembara.

Siapa pun yang bisa membuat baju yang terbuat dari kain yang paling sempurna akan mendapatkan hadiah. Seorang penjahit menawarkan pembuatan pakaian yang terbuat dari kain yang sangat halus. Saking halusnya, kain itu tidak dapat dilihat dan tidak dapat dirasakan kulit. Sang maharaja menunggang kuda untuk memamerkan baju barunya itu. Ketika para pembantu baginda kagum dan bertepuk tangan, seorang anak kecil nyeletuk, “Kenapa Maharaja tidak memakai baju?”

Banyak orang mengambil peran seperti pembantu raja yang melihat kebenaran, tapi tidak mau bersuara, termasuk dalam kasus korupsi. Tidak mau bersuara karena punya kepentingan.

Akan tetapi, tatkala pers mengambil peran si anak kecil, ia malah disalahkan. Ada pihak yang menyesalkan pemberitaan korupsi yang disebut sepihak karena objek pemberitaannya seharusnya merupakan konten pro justitia yang belum terbukti akan kebenarannya dan masih berada pada tahap penyelidikan.

Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang 40 Tahun 1999 tentang Pers menyebutkan pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah. Peristiwa itu terkait dengan fakta. Proses pengumpulan fakta, seperti diungkapkan Jakob Oetama dalam buku Pers Indonesia: Berkomunikasi dalam Masyarakat tidak Tulus, mengalami perubahan. Pada mulanya dikenal reportase faktual kemudian reportase interpretatif.

Reportase interpretatif itulah yang sering digunakan dalam pemberitaan terkait dengan korupsi. Maksudnya, pengungkapan suatu peristiwa disertai usaha memberikan arti pada peristiwa tersebut, menyajikan interpretasi.

Interpretasi atas fakta itulah yang sering dituding sebagai framing untuk menyudutkan partai politik dalam kasus korupsi yang diduga melibatkan kaderkader
utama.

Seperti anak kecil itu, pers hanya menyodorkan fakta dan interpretasi atas fakta itu. Kesimpulan tetap ada di tangan pembaca. Perjalanan waktulah yang akan membuktikan apakah reportase interpretatif itu benar atau tidak. Kebenaran itu hanya terbukti pada saat palu hakim diketukkan.

Publik tentu masih ingat pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selaku Ketua Dewan Pembina Demokrat di Cikeas pada 11 Juli 2011. Pidato SBY saat itu khusus mengkritik media massa.

“Saya tidak pernah paham dan tidak masuk logika saya. Berita yang hanya bersumber dari SMS dan BBM dijadikan judul besar dan headline pemberitaan,” ujarnya.

Salah satu bukti penting untuk mengungkap kasus Angelina Sondakh (kader Partai Demokrat) dan orang-orang yang terlibat dalam kasus suap wisma atlet justru ditelusuri dari rekap Blackberry Messenger (BBM) antara Angie dan Mindo Rosalina Manullang. Angie kemudian terbukti bersalah dan dipenjara.

Konferensi pers yang terburu-buru untuk menyanggah pemberitaan pers terkait dengan dugaan korupsi juga menjadi bumerang. Masih ingat konferensi pers di ruang Fraksi Partai Demokrat, lantai 9, Gedung DPR, pada 10 Mei 2011?

Saat itu pers memberitakan keterlibatan dua kader Partai demokrat, Bendahara Umum M Nazaruddin dan Wakil Sekretaris Jenderal Angelina Sondakh, dalam kasus dugaan suap pembangunan Wisma Atlet SEA Games XXVI, di Kompleks Jakabaring, Palembang, Sumatra Selatan.

“Sampai saat ini kader kami yang disebut-sebut dalam pemberitaan media tidak dan belum ada indikasi keterlibatan mereka,” kata Ketua Departemen Bidang Hukum Partai Demokrat Benny Kabur Harman dalam konferensi pers itu.

Partai Demokrat menyebut tuduhan kader mereka terlibat korupsi hanyalah imajinasi. Akan tetapi, fakta persidangan membuktikan sebaliknya, benar adanya pemberitaan pers itu. Fakta itu suci dan tidak bisa ditutup-tutupi. Tak ada gunanya menutupi bau busuk korupsi dengan konferensi pers yang membatasi
kehadiran wartawan. Lebih baik siapkan pembelaan di pengadilan. Pengalaman memperlihatkan, kian kencang berteriak tidak korupsi, pada akhirnya terbukti korupsi.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya