Headline

Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.

Fokus

Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.

Rumah (yang) Sakit

Gaudensius Suhardi Dewan Redaksi Media Group
09/1/2020 08:10
Rumah (yang) Sakit
Gaudensius Suhardi Dewan Redaksi Media Group(MI/Ebet)

RUMAH sakit telah tumbuh sebagai industri yang mengejar keuntungan. Ada uang, kemewahan pelayanan hotel bintang lima tersedia dengan senyum ramah komersial maksimal. Tidak ada uang, maaf, dilayani seadanya dengan muka buruk rupa.

Lazimnya lahan bisnis, rumah sakit juga mencari untung dengan tetap mengindahkan etika. Namun, ada juga yang menggunakan segala cara mendapatkan laba. Rumah sakit untung, pasien dan keluarganya buntung, seperti yang saya alami kendati tidak sampai buntung sepenuhnya.

Sudah terlalu lama posisi tawar pasien lemah, sangat lemah, bila berhadapan dengan rumah sakit. Pasien tidak berdaya atau dibuat tidak berdaya karena berhadapan dengan otoritas yang seakan-akan punya kuasa menentukan hidup-mati.

Negara sudah mencoba menghentikan tabiat busuk rumah sakit dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Undang-undang yang disahkan pada 28 Oktober 2009 itu mengatur secara jelas soal hak dan kewajiban rumah sakit serta pasien.

Pasal 29 menyebutkan bahwa setiap rumah sakit mempunyai kewajiban memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai hak dan kewajiban pasien. Hak rumah sakit tentu saja menerima imbalan jasa pelayanan, yang diatur dalam Pasal 30.

Satu dekade sudah Undang-Undang Rumah Sakit berlaku, tapi masih ada saja rumah sakit yang tidak jujur memberikan informasi, malah tidak mau memerikan informasi. Akibatnya, pasien membayar jasa pelayanan lebih besar daripada seharusnya.

Saya memenuhi kewajiban untuk membayar imbalan jasa rumah sakit pada 30 Desember 2019. Imbalan jasa rumah sakit di kawasan Cibubur, Jakarta Timur, atas perawatan kakak saya selama empat hari di ruangan 609.

Kepada kasir yang tempatnya berdekatan dengan bagian farmasi di lantai satu itu saya memberitahukan niat saya untuk membayar biaya perawatan. Kasir itu menyebut angka Rp13.511.940 yang mesti saya bayar.

Sebelum transaksi, saya bertanya kepada kasir itu terkait dengan pelayanan apa saja yang ditanggung dan tidak ditanggung BPJS. Kakak saya pemegang kartu Askes kelas II, masuk rumah sakit itu melalui UGD. Ketika dokter memutuskan untuk merawat inap, saat itu tidak ada kamar yang sesuai jatah Askes. Kakak saya pun terpaksa dirawat di kamar yang tersedia, ruang VVIP.

Kasir tidak bisa memberikan informasi yang saya minta. Saya diantarkan menemui petugas di bagian informasi rawat inap yang letaknya hanya 3 meter dari kasir. Petugas di sana pun tidak bisa memberikan informasi mengenai pelayanan yang ditanggung dan tidak ditanggung BPJS. Kata petugas itu, pihaknya hanya menerima gelondongan dari BPJS, biaya yang ditanggung sekitar Rp3 juta, sisanya dibayar pribadi.

Dengan penuh kecewa saya melakukan transaksi menggunakan kartu ATM atas kewajiban saya pada pukul 18.27 WIB. Kemudian saya mengantar pulang kakak saya ke rumah. Dalam perjalanan pulang, saya mengirim pesan melalui WA kepada Dirut BPJS Fachmi Idris.

Saya tanyakan kepada Fachmi apakah rumah sakit memang tidak bisa memberi informasi terkait apa yang ditanggung dan tidak ditanggung BPJS. Fahmi pun meminta Kepala BPJSK Depok Irfan Qadarusman menghubungi saya.

Tidak lama berselang Irfan menelepon. Saya menceritakan kekecewaan saya dan Irfan langsung menghubungi dokter yang menjadi PIC BPJS di rumah sakit tersebut. Penjelasan resmi dari rumah sakit baru saya dapatkan keesokan harinya.

Saya diminta untuk datang ke rumah sakit pada 31 Desember 2019. Saya menemui dokter yang namanya disebut Irfan. Seorang petugas lainnya mendampingi dokter tersebut di lantai dua.

Rumah sakit menjelaskan bahwa ada kelebihan pembayaran sehingga pihaknya mengembalikan kelebihan pembayaran sebesar Rp6.574.465 melalui transfer bank pada 2 Januari 2020.

Dijelaskan bahwa kelebihan pembayaran itu akibat ada diagnosis dokter yang tidak disertai tindakan, tapi sudah dihitung sebagai tindakan yang biayanya dibebankan kepada pasien. Saya mencoba percaya penjelasan tersebut kendati kepercayaan itu tinggal seujung kuku.

Jangan sampai kasus yang saya alami dialami orang lain. Rumah sakit yang tidak mematuhi perundang-undangan justru menjadi penyebab pasien dan keluarganya tambah sakit akibat kantong dikuras rumah (yang) sakit.

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya