Simbiosis Ijazah Palsu

Nanang Martono, Dosen Sosiologi Pendidikan Universitas Jenderal Soedirman
03/6/2015 00:00
Simbiosis Ijazah Palsu
()
DUNIA pendidikan kembali dikejutkan dengan masalah 'moralitas' anak bangsa yang terkait erat dengan pendidikan tinggi (PT). Kemenristek dan Dikti menemukan indikasi penyebaran ijazah palsu di beberapa PT di Indonesia. Tercatat ada 17 PT yang diduga terlibat dalam praktik jual beli ijazah palsu tersebut. Yang lebih tragis, terdapat oknum penikmat ijazah palsu tersebut yang menjabat sebagai rektor.

Gejala jual beli ijazah palsu sebenarnya sudah lama tercium oleh Ivan Illich (1926-2002), seorang sejarawan asal Austria yang juga memiliki minat pada masalah pendidikan. Illich, yang semula merupakan seorang pastor, melihat bahwa dalam kehidupan masyarakat modern, sekolah diposisikan sebagai sebuah 'agama baru'. Sekolah dimaknai sebagai satu-satunya jalan menuju kesuksesan. Dengan bersekolah, masyarakat mudah mendapatkan segalanya, misalnya, pekerjaan, gelar, status sosial, dan kesuksesan. Illich menganalogikan sekolah sebagai sebuah agama. Bila sekolah menjanjikan kesuksesan, agama menjanjikan keselamatan surga. Bila individu ingin meraih surga, ia harus beragama. Karena itu, untuk bisa meraih sebuah kesuksesan, individu harus bersekolah.

Hal itu menguatkan pandangan bahwa manusia membutuhkan sekolah dan mereka harus bersekolah untuk mendapatkan yang mereka inginkan. Setelah bersekolah, individu berhak mendapatkan selembar ijazah sebagai bukti bahwa ia 'telah bersekolah'. Mereka pun dapat melakukan segalanya, misalnya, melamar pekerjaan dan mendapatkan pengakuan atau status. Sebagian di antara mereka menggunakannya untuk tujuan praktis, misalnya, untuk meraih jabatan tertentu atau menaikkan harga jual ketika mencalonkan diri sebagai calon legislatif atau kepala daerah. Masyarakat pun semakin terpana dengan deretan gelar panjang yang disandang seseorang.

Bourdieu (2004) kemudian menyebutkan bahwa ijazah menjadi modal budaya. Ijazah akan memengaruhi cara seorang individu untuk bertindak dengan kelompok sosialnya. Seseorang yang berijazah SD akan mempunyai gaya hidup yang berbeda jika dibandingkan dengan seseorang yang berijazah SMA, sarjana, master, dan doktor. Masyarakat pun akan memiliki perbedaan dalam memperlakukan seorang lulusan SD atau SMA. Mereka sangat menghormati dan memperlakukan secara istimewa seorang sarjana atau seorang doktor. Kedudukan sekolah dalam masyarakat tersebut kemudian dimanfaatkan sebagian kelompok untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan sekolah. Sebagian di antara mereka berusaha memenuhinya dengan menggunakan cara negatif, seperti jual beli ijazah tanpa sekolah atau kuliah dan ijazah dapat diperoleh dengan sangat mudah.

Lemahnya pengawasan
Tawaran itu tentu dimanfaatkan sebagian 'konsumen nakal'. Mereka ialah orang-orang yang enggan bersusah payah, enggan belajar, dan tak punya waktu untuk mengikuti kuliah, tetapi memiliki modal tinggi. Mereka mampu membayar lebih mahal asalkan mereka dapat menerima ijazah dengan cara instan. Dalam ekonomi, itu sama dengan prinsip 'ada permintaan, maka ada penawaran'. Di sini, maraknya jual beli ijazah palsu dilandasi hubungan simbiosis mutualisme. Sebagian masyarakat butuh ijazah secara mudah, di sisi lain, 'kebutuhan' itu dimanfaatkan pihak yang tidak bertanggung jawab.

Faktor berikutnya yang turut menyemarakkan praktik jual beli ijazah palsu ialah kontrol pemerintah yang lemah. Kontrol pemerintah sebenarnya harus dimulai sejak proses perizinan pendirian sebuah PT dan program studi. Itu merupakan tahap awal bagi legalitas sebuah lembaga pendidikan.

Ada kemungkinan, pemerintah hanya mengandalkan kelengkapan berkas administratif ketika mengeluarkan izin pendirian tersebut. Untuk itu, pemerintah juga harus menginvestigasi aksi suap-menyuap dalam proses perizinan tersebut. Tidak bijak ketika Menristek dan Dikti hanya sebatas melakukan aksi sidak di beberapa PT terindikasi curang. Itu hanya sebuah pencitraan saja. Ia seharusnya juga melakukan sidak pada staf kementerian, terutama para staf yang terlibat dalam pengurusan perizinan beberapa PT tersebut. Itu harus menjadi agenda penting karena indikasi tersebut sangat mungkin terjadi. Pihak yang memberikan 'dana lebih' akan diproses dan dimudahkan terlebih dahulu meski sebagian syarat tidak terpenuhi.

Proses akreditasi merupakan mekanisme berikutnya yang sebenarnya dapat menjadi kontrol pemerintah atas legalitas pendirian sebuah lembaga PT. Dalam proses akreditasi, PT wajib mencantumkan bukti dan surat izin pendirian. Bila hal itu pun lolos dari kontrol, proses akreditasi, terutama kinerja asesor BAN-PT, perlu dipertanyakan.

Proses akreditasi lebih banyak mengandalkan kelengkapan administrasi. Ketika pihak PT memiliki 'bukti fisik' yang sesuai dengan deskripsi dalam dokumen evaluasi diri, data dalam evaluasi diri tersebut dianggap valid. Untuk itu, banyak PT yang menyiapkan 'dokumen dadakan' untuk sekadar 'menyambut' kedatangan para asesor BAN-PT.

Dalam analogi Bourdieu, akreditasi menjadi sebuah tujuan dan sebuah modal budaya bagi PT. Akreditasi bukan dimaknai sebuah proses perkembangan perguruan tinggi. Karena itu, wajar jika seluruh PT berlomba mendapatkan nilai akreditasi setinggi mungkin. Semangat kompetisi antar-PT menjadi roh utama dalam penyelenggaraan PT di Indonesia. Paradigma itu harus segera diubah.

Permainan 'mendongkrak' IP mahasiswa menjadi hal biasa. Pembuatan foto upacara wisuda palsu sangat mudah dilakukan. Akhirnya, hal tersebut membuat ijazah palsu menjadi agenda besar beberapa PT. Bila setiap perguruan tinggi harus berkompetisi, yang terjadi ialah kompetisi tidak sehat.

Untuk itu, agenda penting Kemenristek dan Dikti ialah melakukan investigasi dan pendataan ulang terhadap semua dokumen pendirian perguruan tinggi, pembenahan sistem akreditasi BAN-PT, dan pembenahan database komponen PT. Termasuk pengecekan dokumen akademik dosen dan tenaga kependidikan di bawah naungan Kemenristek dan Dikti. Langkah itu juga harus dilakukan kementerian lain yang membawahi PT.

Masyarakat juga dapat diikutsertakan dalam proses investigasi itu. Minimal masyarakat dapat melaporkan berbagai 'keanehan' yang berkaitan dengan proses pembelajaran di lembaga pendidikan.


Nanang Martono Dosen Sosiologi Pendidikan Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto Tengah menempuh studi S-3 di Universite Lyon 2 Prancis



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya